Kita lama mengenal anarkisme sebagai sebuah wahab tentang kekerasan.
Terlepas dari etika yang dianut para anarkis tadi, anarkisme ternyata
turut menyumbangkan konsep ideal tentang perwujudan nilai humanisme
universal: sebuah asas kemerdekaan tiap individu semutlak-mutlaknya.
Sepenuh-penuhnya.
Hingga tak ada satu bentuk kekuasaan dalam porsi segenggam tangan pun
yang dapat mengambilalih kekuasaan individu lain. Cita-cita yang agung
mengingat selama ini anarkisme selalu dininabobokan sejarah sebagai
sebuah entitas kelam yang melandasi kejahatan manusia.
Dan bicara anarkisme, acapkali muncul pertanyaan klise bernada
utopian: bagaimana itu semua mungkin? Ketika setiap manusia memiliki
jatah kekuasaan tanpa ada sebuah otoritas resmi yang membatasi, bayangan
yang terpacak kemudian hanyalah chaos. Bagaimana mungkin sebuah konsep humanisme universal menawarkan antiserum yang bercirikan kekacauan seperti itu?
Saya akan mencoba mengomparasikan anarkisme sebagai filosofi dengan prinsip Total Football.
Jack Reynolds mungkin tak akan pernah membayangkan konsep
sederhananya tentang ritme sepakbola menyerang akan menjadi sebuah
revolusi. Ditangan Rinus Michels, revolusi itu memang benar terjadi.
Sebuah revolusi yang kita kenal dengan nama Total Football. Cikal bakal revolusi ini bermula ketika Reynolds menjadi head coach
Ajax Amsterdam pada kurun waktu 1915-1925,1928-1940,1945-1947. Saat itu
dia beranggapan bahwa Belanda belum memiliki filosofi dasar dalam
bermain sepakbola.
Maka, lewat Ajax, dia menelurkan sebuah cetak biru filosofi gaya
bermain sepakbola yang kemudian diadopsi (dimodifikasi) oleh Rinus
Michels. Melalui Michels, yang juga melatih Ajax pada peralihan 1960-an
dan 1970-an Total Football menjadi sebuah endemik dalam sepakbola.
Bak seorang The Great Alexander, dia seakan berteriak lantang pada dunia dalam menyuarakan revolusinya: pertahanan terbaik adalah menyerang.
Helenio Hererra, pencetus Catennacio boleh tidak sepakat
bahwa dengan menyerang pertahanan akan kian kokoh. Tetapi, bagi penikmat
sepkabola ofensif, dimana tendesi menekan lawan sampai keakar-akarnya
diberlakukan, ditambah dengan ritme bermain yang memanjakan mata,
pelatih Inter Milan tersukses asal Argentina itu dipastikan akan
mengangguk setuju.
Well, Catennacio memang tidak dianugerahi hal-hal seperti itu.
Total football memang spesial, juga rumit. Hal ini salah
satunya dilandasi karena Michels menganggap bahwa agar Total Football
berlangsung mulus, kuncinya terletak pada fleksibilitas antar lini yang
harus berlangsung tanpa jeda. Ritme permainan bergulir lewat pakem
kolektifitas yang kuat. selain fisik yang mendukung, intelegensia tiap
pemain juga memiliki nilai penting dalam skema Total football.
Johan Neskeens di sayap kiri tidak jarang harus mem-backup Ruud Kroll
yang acapkali naik menyisir sisi kanan pertahanan lawan. Johan Cruijf
tidak boleh menunggu dengan pasif aliran bola dari lini belakang bila
memang tersendat.
Bola harus dijemput dari bawah dengan ikut menambal sektor
pertahanan. Kalau perlu Cruijf, yang berposisi sebagai playmaker, harus
merancang skema serangan dari bawah.
Cruijf memang pantas mendapat kredit poin tersendiri dalam implementasi Total Football
dilapangan. Fisik yang kuat, visi bermain yang cerdas, skill yang
menawan, dan kegigihan untuk ikut membantu pertahanan, menjadi tolak
ukur Cruijf mengapa sampai kemudian Michel sempat berujar: “Perlu 5-6
orang Cruijf agar Total Football berjalan sempurna.”
Ucapan Michels tadi dapat diartikan bahwa, Total Football,
yang bagi banyak orang sudah sangat representatif sebagai sistem
permainan sepakbola yang ideal, ternyata masih memiliki banyak lubang.
Ya, Total Football memang tidak sesempurna seperti yang sering kita duga.
Banyak pelatih asal Belanda yang dulunya mantan anak asuh Michels,
mengalami kesulitan menerapkan gaya ini secara kontekstual. Johan Cruijf
pada awalnya memang berhasil melejitkan Barcelona sebagai salah satu Dream Team pada medio 90-an.
Dengan kualitas merata disegala lini, Barcelona di bawah asuhan
Cruijf memang superior. Tetapi, superioritas tersebut menjadi sampah
tatkala dia harus menghadapi AC Milan dengan pelatih yang saat itu
bahkan belum memiliki sertifikat kepelatihan: Fabio Capello.
Efisiensi Milan, ditambah dengan kuartet pertahanan terbaik di dunia
saat itu (Fraco Baresi, Alessandro Costacurta, Paolo Maldini dan Mauro
Tassoti) membuat duet maut Sthoickov dan Romario bak pemain kelas dua.
Tendangan geledek Ronald Koeman, seakan lepuh. Kiper tangguh, Andoni
Zubizarreta, bak menjadi seorang kiper kelas C.
Dan Barca sendiri, yang sebelum bermain memang sudah menyemat label Dream Team dilapangan seakan menjadi tim yang baru promosi segunda divison La Liga. Singkat kata, Cattenacio berhasil mempecundangi Total Football. Skor telak 4-0 menjadi bukti betapa Milan dengan Catennacio-nya berhasil meraih trofi Liga Champions-nya yang kelima.
Saat itu Milan memang bermain dengan semangat Cattenacio
yang kental. Membiarkan lawan menekan, memegang bola, pertahanan dibuat
serapat mungkin, lantas rebut di saat yang tepat: bunuh!
14 tahun kedepan, Van Basten, mantan penyerang top Belanda dan AC
Milan pada medio 90-an, yang juga pernah mendapat penanganan langsung
dari Michels saat Belanda merengkuh gelar juara Euro 1988, (hampir) berhasil memparadekan kembali keganasan Total Football
pada pagelaran Euro 2008 lalu ketika melatih Tim Oranye. Bergabung di
“grup neraka” bersama Italia dan Prancis, Belanda sukses mempecundangi
kedua juara dunia itu dengan skor telak 3-0 dan 1-4.
Pola 4-2-3-1 yang digunakan Basten memang efektif. Dengan memainkan
dua jangkar sekaligus guna mengamankan jalur tengah, Belanda dapat
mengalirkan bola sekaligus menekan lawan dengan lancar dari segala lini.
Tetapi, lagi-lagi saja Belanda dengan Total Football-nya kembali terlempar dari bursa juara setelah pada perempat final kandas oleh Rusia dengan skor 3-1 dalam perpanjangan waktu.
Efisiensi permainan ala Jerman Barat 1974 (ketika mengubur harapan
Belanda menjadi Juara Dunia di Final 1974) dipraktekan Rusia demi
mengatur permainan dengan seefisien mungkin, terbukti ampuh. Pertahanan
yang kokoh dan tidak bertele-tele dalam memanfaatkan peluang membuat
Basten dan Belanda harus angkat koper lebih awal.
Lantas, sekali lagi muncullah pertanyaan ini di kepala setiap pecinta Total Football: apa yang membuat Total Football, yang pada praksisnya tampak seperti sebuah kulit tanpa cacat, cenderung mudah disayat-sayat?
Dalam banyak pertandingan, dapat terlihat bahwa Total Football cenderung mengeksploitasi lapangan sampai kesudut-sudutnya. Begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin.
Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut
untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain
bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus
dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung
pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu
sempit.
Ini ditenggarai, seperti dalam buku David Winner yang terjemahan
bebasnya kira-kira berjudul, “Oranye Brilian — Jenius dan Gilanya
Sepakbola Belanda” sebagai pengejawantahan “psyche” paling dasar warga
Belanda dalam memahami kehidupan.
Total Football, demikian jelas buku tadi, adalah persoalan
ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi
pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk
menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.
Dalam eksploitasi tersebut tentu saja Total Football
cenderung memosisikan skill tiap pemain sebagai “nada” ketika orkestrasi
Total Football dimulai ketika melakukan pembabatan terhadap lawan.
Serangan dapat bermula dari siapa saja (walau biasanya, skema serangan
selalu diawali dari kaki Cruijf). Dapat melalui sayap, tengah atau
bahkan long ball ala Kick n’ Rush Inggris, umpan panjang dari area pertahanan menuju ke daerah siaga lawan.
Hal inilah, menurut hemat saya, tidak dipungkiri menjadi salah satu
penyebab dualisme yang seringkali betubrukan dalam gerak ritmik Belanda
saat bermain. Pada satu sisi, gaya permainan ofensif Total Football yang cenderung berubah-ubah membuat lawan tidak dapat mendeteksi arah permainan Belanda.
Tetapi, di sisi lain, Total Football mengalami kesulitan
dalam memulai serangan karena kebiasaan mereka yang sering berubah-ubah
dalam memulai serangan. Alasannya bisa saja sederhana untuk menjawab
mengapa pada saat tertentu Belanda kesulitan memulai serangan: karena
Cruijf dijaga sedemikian ketatnya, maka design serangan menjadi kelu,
tidak kreatif.
Tetapi, hanya orang bodoh yang berfikir senaif itu. Ibarat kompas
ditengah badai, arah mata angin menjadi kabur, seperti itulah ritme Total Football ketika memainkan temponya yang cenderung terbebas dari sistem ketat nan kaku.
Kebiasaan menusuk lawan dari segala lini dengan membabibuta, membuat
moda “penyerangan” itu sendiri, secara implisit telah menjadi kerangkeng
bagi Belanda. “Menyerang” nantinya menjadi semacam “institusi”
tersendiri yang membuat Belanda lupa akan sasaran bidik sebenarnya: gol.
Bahwa gol ternyata telah menjadi kebutuhan sekunder dalam pola ofensif Total Football
itu sendiri. Kebutuhan untuk menyerang dan terus menyerang membuat para
pemain Belanda kemudian secara tematis terkooptasi oleh naluri
menyerang yang tidak efisien.
Secara logis, Total Football sangat sederhana: serang lawan
sesering mungkin, maka gol, cepat atau lambat, akan diraih dan
kemenangan ibarat buah apel yang telah masak, siap untuk dipetik.
Akan tetapi, bila kebebasan dalam memilih (dalam hal ini koordinasi penyerangan ala Total Football) terlampau absolut, kemungkinan terbesar adalah gerak kacau yang membuyarkan proses pemilihan (penyerangan) itu tadi.
Inilah alasan teoritik mengapa kemudian tulisan ini mengidentifikasi Total Football
cenderung berbau anarkisme: sikap mereka dilandasi oleh kebebasan
absolut. Sepakbola dapat dimainkan tanpa pola dan bentuk yang jelas,
biarkan mengalir begitu saja.
Bebas, dalam setiap kepala para anarkis, seutopis apapun itu,
cenderung menjadi kebutuhan primer. Tak ada sikap patuh ketika kebebasan
untuk melakukan sesuatu telah dipasung. Bahkan sejengkal sekalipun.
Frasa DIY (Do It Yourself) yang membahana di kalangan Punk
Rock di Amerika Serikat menjadi kode para anarkis disetiap lapis bumi.
Bahwa dengan bebas berkehendak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan
dicirikan sebagai prototipe manusia merdeka.
Michels, disadarinya atau tidak, dengan memodifikasi Total Football
sebagai pola permainan sepakbola tanpa bentuk yang jelas, telah menjadi
seorang anarkis itu sendiri. Sepakbola, yang dipahaminya dapat
dimainkan tidak dengan melulu logika kolot yang sistemik, kemudian telah
menjadi kehendak kebebasan yang dimaksudkan.
“Manusia dikutuk oleh kebebasannya”, ujar Sartre. Relevan atau tidak,
Michels memang “dikutuk” pada final Piala Dunia dua kali
berturut-turut: 1974 dan 1978. Dan Belanda, ehem, hingga detik ini belum
juga terbebas dari kutukan “juara tanpa mahkota”.
Source : Goodbyepele
Rabu, 30 Mei 2012
Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!
Banyak orang yang bilang sepakbola adalah olahraga laki-laki, dan
bukan seorang laki-laki jika tak menyukai sepakbola. Bukankah itu aneh,
seorang laki-laki melihat 22 orang laki-laki yang berebut bola di
lapangan sambil teriak-teriak? Apakah itu jantan?
Kebetulan saya pernah mengirim pertanyaan via Twitter kepada @Sagnaofficial, akun resmi Bacary Sagna. Entah kenapa saya ingin bertanya kepadanya. Mungkin alam bawah sadar saya menganggap Sagna adalah pesepakbola terjantan jika ditilik dari tatanan rambutnya. Tapi, sayang, sudah setahun lebih tak dibalas pertanyaan saya itu.
Sial.
dari hal itu sepakbola sudah menjelma menjadi “agama” baru di muka bumi ini. Sudah banyak “misionaris” yang menyabarkan “agama” baru ini ke seluruh penjuru dunia. “Misionaris–misionaris” bermodal gocekan dan tendangan inilah yang menyebarkan “agama” baru tersebut dengan kecepatan ultrasonic, sehingga dalam waktu kurang dari satu abad “agama” ini sudah dianut oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini.
“Misionaris” pertama “agama” ini muncul pada tahun 50-an. Tersebutlah Pele, seorang pria penganut Voodoo tapi murtad karena mendapat wahyu untuk menyebarkan agama ini. Setelah Pele muncul “misionaris” dari Belanda dengan nama Johan Cruyff.
Pria yang sebenarnya ingin menjadi penjajah ini harus mengurungkan keinginanya karena dalam pembukaan UUD tahun 45 penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Akhirnya dia menjadi “misionaris” sepakbola dan menjajah bangsa lain dengan angka magis, 14.
Kejadian hebat terjadi pada tahun 80-an dengan munculnya misionaris revolusioner yang memiliki “tuhan” ditangannya, Diego Maradona. Sosok ini menjelma menjadi pemimpin spiritual muda kharismatik yang paradoks. Di satu sisi ia gemar melanglang buana ke berbagai prostitusi dan mengoleksi senjata tajam.Di sisi lain ia adalah seorang “tuhan kecil” dengan “umat” sekitar beberapa juta.
Namun, misionaris yang hanya satu kali mendapat kertas instruksi dari pelatih selama berkarir ini harus bekerja keras karena bersaing dengan beberapa misionaris lain di dunia saat itu. Di italia ada Paolo Rosi yang berhasil menggabungkan teknik bermain bola dengan teknik membuat pizza.
Selanjutnya muncul Roberto Baggio, si Buddha yang juga berasal dari Caldogno, Italia ini menambahkan teknik topping rambut kepang diatas pizza bola. Di Prancis ada Michael Platini yang menggabungkan gaya berdakwah di lapangan dengan fashion. Itu belum jika kita menyebut trio “misionaris” asal Belanda, Basten, Gullit, Rijjkard.
Di akhir 90-an muncul misionaris yang sangat sederhana di Prancis, Zinedine Zidane namanya. Saking sederhana dan iritnya dia sampai malas beli tonik penyubur rambut dan membiarkan kepalanya botak setengah. Soal rambut ini, ia berkomentar tatkala mengetahui Rooney melakukan transplantasi rambut: “Dasar korban shampo Metal!”
Pada tahun 2000-an dunia digemparkan oleh kemunculan “misionaris” terlalu tampan dengan anatomi gigi yang cukup futuristis. Dunia memanggilnya Ronaldinho. Akan tetapi, “Misionaris” yang gocekannya semaut goyangan pinggulnya ini hanya mampu menyebarkan “agama” hanya sekitar 6 tahun.
Sekaran posisinya tergeser oleh “misionaris” muda bernama Messi. Di belakang Messi masih menguntit beberapa “misionaris” yang mewakili benuanya. Ada didier Drogba sebagai wakil Afrika—ia bersaing keras dengan Gervinho—, lalu ada Syekh Ali Karimi dan Park Ji Sung sebagai wakil Asia.
Seperti layaknya agama yang lazim di dunia ini, “agama” sepakbola juga mempunyai mazhab. Di Brazil berkembang mazhab Jogo Bonito yang merupakan sinkronisasi antara sepakbola, tarian Samba, peribadatan Voodoo, dan sirkus. Di italia berkembang mazhab mafioso. Terbukti dengan skandal Calciopoli, suap menyuap wasit dan kewajiban untuk melakoni seni menjatuhkan diri dengan sengaja alias diving.
Sedangkan di Prancis, revolusi Prancis yang menyetarakan semua ras berhasil mempengaruhi mazhab sepakbola disana. Dan mulai saat itu mulai terjadi aksi impor pemimpin-pemimpin spiritual ke Prancis, seperti Zinedine Zidane, Thiery Henry, Patrick Vieira, Christian Karembeu, Lilian Thuram, dan yang paling mutakhir—ia muncul bebarengan dengan lahirnya teknik seni rupa kontemporer, Surealis Magis—, Bacary Sagna.
Sedangkan Spanyol berbeda dengan Prancis. Mahzab “agama” sepakbola disini memberlakukan sistem kasta. Samuel Eto’o (berasal dari kasta terendah), pemimpin spiritual yang sangat berbakat dari tanah Roger Milla ini gagal total di Castillan, tetapi berjaya di Catalan. Meski ia tetap saja jadi bahan cemoohan dan menjadi penyebab naiknya harga pisang di Spanyol.
Karena dirasa cukup menghadapi tekanan batiniyah, akhirnya pindah haluan guna menyebarkan “agama” sepakbola ke kasta yang masih sedarah dengannya, Ordo Primata (selain manusia) di Gembira Loka.
“Agama” sepakbola ini juga mempunyai ibadah wajib 4 tahun sekali bernama “Marhaban ya World Cup”. Seluruh umat diharuskan berpuasa menonton berita, sinetron, apalagi Jakarta Lawyer Club, dan lain-lain. Semua fokus melakukan “ibadah” Piala Dunia selama sebulan penuh.
Maka benarlah sabda Tutankhamun semasa masih berseragam Swansea: “Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!”
Sayonara!
Source : Yoganoviantoro
Kebetulan saya pernah mengirim pertanyaan via Twitter kepada @Sagnaofficial, akun resmi Bacary Sagna. Entah kenapa saya ingin bertanya kepadanya. Mungkin alam bawah sadar saya menganggap Sagna adalah pesepakbola terjantan jika ditilik dari tatanan rambutnya. Tapi, sayang, sudah setahun lebih tak dibalas pertanyaan saya itu.
Sial.
dari hal itu sepakbola sudah menjelma menjadi “agama” baru di muka bumi ini. Sudah banyak “misionaris” yang menyabarkan “agama” baru ini ke seluruh penjuru dunia. “Misionaris–misionaris” bermodal gocekan dan tendangan inilah yang menyebarkan “agama” baru tersebut dengan kecepatan ultrasonic, sehingga dalam waktu kurang dari satu abad “agama” ini sudah dianut oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini.
“Misionaris” pertama “agama” ini muncul pada tahun 50-an. Tersebutlah Pele, seorang pria penganut Voodoo tapi murtad karena mendapat wahyu untuk menyebarkan agama ini. Setelah Pele muncul “misionaris” dari Belanda dengan nama Johan Cruyff.
Pria yang sebenarnya ingin menjadi penjajah ini harus mengurungkan keinginanya karena dalam pembukaan UUD tahun 45 penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Akhirnya dia menjadi “misionaris” sepakbola dan menjajah bangsa lain dengan angka magis, 14.
Kejadian hebat terjadi pada tahun 80-an dengan munculnya misionaris revolusioner yang memiliki “tuhan” ditangannya, Diego Maradona. Sosok ini menjelma menjadi pemimpin spiritual muda kharismatik yang paradoks. Di satu sisi ia gemar melanglang buana ke berbagai prostitusi dan mengoleksi senjata tajam.Di sisi lain ia adalah seorang “tuhan kecil” dengan “umat” sekitar beberapa juta.
Namun, misionaris yang hanya satu kali mendapat kertas instruksi dari pelatih selama berkarir ini harus bekerja keras karena bersaing dengan beberapa misionaris lain di dunia saat itu. Di italia ada Paolo Rosi yang berhasil menggabungkan teknik bermain bola dengan teknik membuat pizza.
Selanjutnya muncul Roberto Baggio, si Buddha yang juga berasal dari Caldogno, Italia ini menambahkan teknik topping rambut kepang diatas pizza bola. Di Prancis ada Michael Platini yang menggabungkan gaya berdakwah di lapangan dengan fashion. Itu belum jika kita menyebut trio “misionaris” asal Belanda, Basten, Gullit, Rijjkard.
Di akhir 90-an muncul misionaris yang sangat sederhana di Prancis, Zinedine Zidane namanya. Saking sederhana dan iritnya dia sampai malas beli tonik penyubur rambut dan membiarkan kepalanya botak setengah. Soal rambut ini, ia berkomentar tatkala mengetahui Rooney melakukan transplantasi rambut: “Dasar korban shampo Metal!”
Pada tahun 2000-an dunia digemparkan oleh kemunculan “misionaris” terlalu tampan dengan anatomi gigi yang cukup futuristis. Dunia memanggilnya Ronaldinho. Akan tetapi, “Misionaris” yang gocekannya semaut goyangan pinggulnya ini hanya mampu menyebarkan “agama” hanya sekitar 6 tahun.
Sekaran posisinya tergeser oleh “misionaris” muda bernama Messi. Di belakang Messi masih menguntit beberapa “misionaris” yang mewakili benuanya. Ada didier Drogba sebagai wakil Afrika—ia bersaing keras dengan Gervinho—, lalu ada Syekh Ali Karimi dan Park Ji Sung sebagai wakil Asia.
Seperti layaknya agama yang lazim di dunia ini, “agama” sepakbola juga mempunyai mazhab. Di Brazil berkembang mazhab Jogo Bonito yang merupakan sinkronisasi antara sepakbola, tarian Samba, peribadatan Voodoo, dan sirkus. Di italia berkembang mazhab mafioso. Terbukti dengan skandal Calciopoli, suap menyuap wasit dan kewajiban untuk melakoni seni menjatuhkan diri dengan sengaja alias diving.
Sedangkan di Prancis, revolusi Prancis yang menyetarakan semua ras berhasil mempengaruhi mazhab sepakbola disana. Dan mulai saat itu mulai terjadi aksi impor pemimpin-pemimpin spiritual ke Prancis, seperti Zinedine Zidane, Thiery Henry, Patrick Vieira, Christian Karembeu, Lilian Thuram, dan yang paling mutakhir—ia muncul bebarengan dengan lahirnya teknik seni rupa kontemporer, Surealis Magis—, Bacary Sagna.
Sedangkan Spanyol berbeda dengan Prancis. Mahzab “agama” sepakbola disini memberlakukan sistem kasta. Samuel Eto’o (berasal dari kasta terendah), pemimpin spiritual yang sangat berbakat dari tanah Roger Milla ini gagal total di Castillan, tetapi berjaya di Catalan. Meski ia tetap saja jadi bahan cemoohan dan menjadi penyebab naiknya harga pisang di Spanyol.
Karena dirasa cukup menghadapi tekanan batiniyah, akhirnya pindah haluan guna menyebarkan “agama” sepakbola ke kasta yang masih sedarah dengannya, Ordo Primata (selain manusia) di Gembira Loka.
“Agama” sepakbola ini juga mempunyai ibadah wajib 4 tahun sekali bernama “Marhaban ya World Cup”. Seluruh umat diharuskan berpuasa menonton berita, sinetron, apalagi Jakarta Lawyer Club, dan lain-lain. Semua fokus melakukan “ibadah” Piala Dunia selama sebulan penuh.
Maka benarlah sabda Tutankhamun semasa masih berseragam Swansea: “Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!”
Sayonara!
Source : Yoganoviantoro
Men-“Tuhan”-kan Tim!
“Kalau sampai Messi double hattrick, aku gundulin ini kepala!”
Untung benar kawan saya ini. Rambut keritingnya
akhirnya selamat, Messi “hanya” mencetak 5 gol ketika Barcelona menjamu
Bayern Leverkusen malam itu.
Hanya?
Oh, Oke. Mungkin banyak pemain yang pernah mencetak
4 gol dalam satu pertadingan Liga Champions, tapi untuk malam itu, ini
pertama kalinya dalam hidup saya melihat ada pemain bisa mencetak lima
gol dalam satu pertandingan.
Mungkin “Tuhan” Maradona dan “Tuhan” Pele pernah
melakukannya—mungkin tidak hanya pernah—tapi sering. Tapi tetap saja,
apa yang dilakukan Messi pada 7 Maret lalu itu sungguh luar biasa,
mengingat kompleksitas taktik dan fisik pemain sepakbola jaman sekarang
jauh lebih tinggi levelnya dari era di mana “Dua Tuhan” itu masih aktif
bermain.
Akan tetapi, kebesaran “The Little God” akhirnya
punya batas juga musim ini. Kita memang masih melihat gerakan
berhenti-berlari yang sukses bikin linu kaki, manuver “banting stir”
yang sukses bikin bek-bek terpeleset, atau keputusan super cepat untuk
men-drible, menendang, atau mengumpan yang bikin komentator BBC bingung
berkomentar dan menutupi kebisuan itu dengan tawa basi: “ha-ha-ha!”
Messi tetap hebat, tapi di kedua semifinal melawan Chelsea malam itu, Barca tidak menang, dan memang Barca tidak layak menang.
Drama Messi ini ditutup oleh gol tak terduga
Fernando Torres. Seorang pemain yang dianggap sudah habis sejak satu
setengah musim yang lalu. Lionel Messi tertunduk, malam itu Barca
takluk. Kalau saja Di Matteo pernah melihat acara Demian di Trans 7,
pasti dia akan berlari mendatangi kamera dan bilang: “Sempoa…”.
Beberapa hari sebelumnya di tempat yang sama, Nou
Camp, derita yang sama diciptakan oleh seorang pria yang dianggap
sebagai manusia termahal di planet bumi saat ini. Mendapatkan umpan
diagonal mendatar dari trequartista kelas dunia pertama Turki tapi
memperkuat Timnas Jerman, Mesut Ozil, si metrominiseksual, eh,
metroseksual Portugal berhasil mengejar umpan Ozil secepat kilat,
disambar, dua sentuhan Valdes terlewat dan “plung”; masuk. 2-1 untuk
Madrid.
Ronaldo segera berlari tenang ke ujung lapangan
sambil memberi aba-aba ke semua penonton agar mereka segera duduk
kembali di kursinya masing-masing dan tenang sejenak karena pertunjukkan
yang sebenarnya baru saja dimulai.
Ya, pria ini berhasil membuat seluruh anggota DPR
di gelanggang gedung “pemerintahan” bangsa Catalonia ini tidak bisa
menahan diri untuk tidak mengacungkan jari tengahnya.
Ronaldo lagi, Ronaldo lagi. Yup, nama itulah yang
banyak tersaji di headline surat kabar di Eropa keesokan harinya.
Kepopuleran nama itu membuat saya tidak perlu memberi deskripsi lagi
tentang robot super pemain sepakbola ini.
Toh akan sia-sia juga nantinya deskripsi saya.
Ibarat program komputer yang hanya diinstal perintah; “cetak gol
sebanyak mungkin!” maka Ronaldo secara otomatis akan memprosesnya dengan
caranya sendiri. Jadi data di mana jumlah golnya yang melebihi jumlah
rataan Ronaldo bermain musim ini kiranya cukuplah untuk menggambarkan
se-“Tuhan” apa sih Ronaldo itu.
Tapi “Tuhan” aliran baru ini juga tidak berkutik
beberapa hari kemudian di—seperti Messi—kandang tim sendiri; Santiago
Bernabeu. Ronaldo sempat menunjukkan “kebesarannya” saat membawa Real
“Franco” Madrid ini lead dua angka, satu penalti, satu hasil assist si
muka ngobat yang islami: Ozil.
Ironisnya, Mourinho seperti lupa akan kekuatan ras
Arya yang terkenal sejak kemampuan mental baja Adolf “Chaplin” Hitler di
Perang Dunia II yang mampu bertahan dari kepungan 3 negara super power
saat itu: Inggris, Amerika, dan Soviet selama lebih dari satu tahun.
Mental baja inilah yang mungkin diwariskan oleh
Jerman ke negara-negara tetangganya, termasuk Belanda. Mental yang sama
yang diwariskan Philip Lahm dkk ke rekannya si pria Belanda berkepala
professor, yang dengan tenang berhasil mengeksekusi tendangan dua belas
pas, menaklukkan Iker “Reflect” Cassilas dengan sempoa, eh, sempurna.
Skor 2-1 membuat agregat imbang tiga sama dan
pertandingan dilanjutkan sampai adu tos-tosan. Seolah yakin akan mampu
lolos ke final, mungkin juga karena ingin mengamalkan sila pertama dalam
Pancasila, Mourinho tanpa pikir panjang memberikan jatah eksekutor
pertama ke-“Ronaldo Yang Maha Esa”.
Yup, Ronaldo dengan awan kinton terbang mendatangi
Neur yang diam mematung di depan gawang sambil bertapa. Mungkin bagi
Neuer, inilah pertama kali dalam hidupnya ia melihat kera sakti pake
baju Madrid dengan awan kinton merk “Nike” mendatangi dirinya.
Ronaldo tenang meletakkan bola. Sedikit mengambil
ancang-ancang dan… “bam”. Bola mengarah ke sudut bawah kiri. Neuer tidak
melompat, ia hanya membuang diri ke kanan tanpa ancang-ancang, bola
seperti akan lewat di antara tubuh Neuer dan tanah, tapi; “mak-plak”
(“mak”-nya gak ada ding). Bola tertepis.
Tendangan seharga 93 juta Euro itu berhasil ditepis
dengan harga tidak sampai seperempatnya. Ya. Munchen mungkin surplus
luar biasa malam itu, tepisan Neur malam itu yang “hanya” 18 juta Euro
juga menggagalkan tendangan seharga 65 juta Euro milik Ricardo Kaka.
Secara matematis mungkin rumus kerugian Madrid seperti ini:
93 juta + 65 juta < Neuer
Tapi, apa ini cuma soal duit?
Oh, tentu tidak. Kekalahan Madrid ini lebih dalam
lagi. Bisa tergambar dari bentuk Mourinho yang bersimpuh tidak berdaya
ketika Ramos malah membuat clearence ketika ia harusnya menendang bola
ke arah gawang (mungkin kebawa karena baru magang jadi centre back malam
itu kali).
Pria yang dianggap angkuh, arogan, dan bermulut
besar sejak di FC Porto, Chelsea, dan Internazionale seperti Mourinho
bersimpuh di pinggir lapangan? Pemandangan luar biasa?
Tentu saja tidak.
Mourinho musim ini tidak sama seperti musim-musim
sebelumnya. Mourinho musim ini jadi lebih sopan, melankolis, pendiam,
ganjen, homo, eh sedikit humoris maksud saya.
Sikap Mourinho yang sekarang, tentu saja
mengherankan banyak pihak. Sisi rivalitas dengan Guardiola menjadi
sedikit ringan bobotnya karena Mou kini tidak mau lagi berada dalam
peran antagonis. Sekali-kali ia ingin gantian dengan Guardiola, mungkin
keduanya sama-sama bosan. Bisa jadi mereka ingin gantian dipuji dan
dibenci. Atau mungkin yang bosan UEFA sendiri atau bisa jadi benar-benar
keinginan “tuhan”?
Oke. Katakanlah ini memang bentuk hidayah Tuhan
kepada Mou agar dia tidak lagi bermulut besar, entah apa alasan Mou
memilih untuk seperti itu, tapi sikap ini berhasil mendapatkan hasilnya
ketika Madrid akhirnya berhasil mengalahkan Barcelona dan memimpin
klasemen di La Liga.
Tapi pertanyaannya, kenapa cara itu tidak juga berhasil ketika harus berada di zona Eropa?
Lagi-lagi Mou seperti lupa akan taktik
non-teknisnya dulu ketika awal menukangi Chelsea, ia pernah bicara bahwa
tim ada di atas segala-galanya, bahkan tim itu sendiri adalah “Tuhan”.
Ia rela berkorban demi tim (terutama untuk para pemainnya) dengan
menjadi sorotan media agar pemainnya bisa lebih berkonsentrasi di atas
lapangan. Cara ini berlanjut saat menukangi Internazionale dan tetap
dipertahankan sampai ke Madrid musim lalu.
Persoalannya, cara ini ternyata tidak mempan untuk
tim sebesar Madrid. Mau sebesar apapun reputasi Mourinho sebelumnya,
Real Madrid tetaplah Real Madrid. Klub terbaik abad 20, peraih Piala
Champions dan La Liga terbanyak, dan tim impian bagi seluruh pemain
bintang kelas satu di planet Bumi.
Sebesar apapun mulut Mourinho untuk menarik minat
media, tetap saja mulut Mou kurang lebar. Berbeda dari Chelsea yang
berkompetisi dengan cukup banyak lawan sebanding; MU, Liverpool, dan
Arsenal, yang menjadikan sorotan media ke pihak Chelsea tidak terlalu
banyak.
Masalah Mourinho di Madrid sedikit mirip seperti
saat ia menukangi Internazionale. Di Inter, Mou mendapati dirinya
terjebak pada taktik non-teknisnya sendiri. Mou dan Inter saat itu sama
sekali tidak punya lawan sebanding paska kasus calciopoli, jadi sudah
sewajarnya semua media menyorot ke Internazionale.
Di sinilah kemudian Mourinho sadar, bahwa ia tidak
bisa untuk melindungi para pemainnya lagi, karena di Italia, untuk
melindungi dirinya sendiri saja sudah susah sekali. Alhasil, sekuat
tenaga Mou memohon kepada Moratti untuk pergi. Pergi ke tim yang jauh
memiliki sorotan media jauh lebih besar lagi: REAL MADRID.
Awal berkiprah di Real Madrid, mulut Mou masih
sebesar biasanya. Dengan materi pemain kelas wahid, misi pertama Mou
sepertinya jelas: meruntuhkan dominasi Barcelona? Bukan.
Tidak sesederhana itu. Madrid ingin Mou menghancurkan tique-taqa Pep Guardiola!
Sepintas misi ini realistis, apalagi berkaca dari
keberhasilan Mou meloloskan Internazionale atas Barcelona di pentas Liga
Champions musim sebelumnya. Dengan pemain pas-pasan di Inter saja Mou
bisa, apalagi dengan pemain kelas wahid di Madrid. Namun di luar dugaan,
baru di pertemuan pertama, Madrid justru dicukur habis 0-5!
Tidak hanya itu, berkali-kali Madrid harus
menanggung malu ketika harus bertemu Barca. Hanya sekali Barca
“menghadiahi” Madrid untuk mengangkat gelar kelas dua, piala
satu-satunya musim lalu yang sayangnya malah dijatuhkan Ramos dari atas
atap bus ketika pawai (baca: Piala Raja).
Di musim pertama, Mou gerah melihat media Eropa
begitu adem ketika menyorot soal Messi dan Barcelona, tapi menjadi
begitu galak, keras, dan kritis ketika menyorot Ronaldo dan Madrid.
Lagi-lagi imbas dari mulut Mourinho juga, tapi ini tidak berlangsung
lama, dengan cepat Mou menyadari bahwa kebersamaan tim tidak bisa
dibangun hanya dengan menjadikan dirinya sebagai umpan media.
Mou sadar, ia hanya akan menjadi setitik tinta
untuk mengamankan para pemain besar Real Madrid dari sorotan media. Maka
sejak itu Mou menciptakan musuh bersama bagi pemain-pemain Madrid,
musuh ini bukan Lionel Messi dkk, tapi musuh itu bernama; ego.
Yup. Pemain-pemain Real Madrid adalah sekelompok
rekan kerja professional yang—bahkan—sampai memiliki kompetitor di dalam
tubuh tim sendiri, mereka saling bersaing untuk mendapatkan tempat
utama. Iklim tim seperti ini tentu berbanding terbalik dengan Barcelona.
Kebanyakan pemain Barca di tempa dalam kamp latihan
bersama sejak usia 7-10 tahun, ketika besar mereka menjadi sahabat,
saling mengenal satu sama lain secara personal, dan bermain seperti
menggunakan telepati. Ini bukan sesuatu yang bisa dilatih dalam tempo 1
atau 2 tahun.
Musuh Real Madrid sejatinya adalah kehebatan pemain
mereka sendiri yang harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan
tempat utama. Paradigma seperti ini akhirnya menguras cukup banyak
energi dan baik untuk beberapa pemain, tapi tidak untuk tim secara
keseluruhan.
Akhirnya Mourinho kembali ke dasar cara pandang sepakbola; tim adalah segalanya, tim adalah “Tuhan”!
Kaka akhirnya mulai diberi sedikit tempat, kadang
dimainkan bebarengan dengan Ozil kadang sendiri, Granero dan Lass Diara
juga tidak dilupakan, Benzema dan Higuain dimainkan bergantian, Jose
Callejon, Arbeloa, Sergio Concentrao, juga tidak luput.
Ironisnya, ketika Mourinho sempat mengalami
kemajuan pesat, Pep Guardiola malah mundur beberapa langkah. Tiki-taka
yang dulu menjadi rujukan bagi semua tim di dunia untuk bermain indah
dengan tingkat kekompakan yang tinggi, permainan sederhana
passing-gerak-passing-gerak, dan tahan bola selama mungkin.
Kesemuanya justru dirusak oleh “kartu as” permainan mereka sendiri; Lionel Messi.
Harus diakui, Messi itu semacam “tuhan” di tubuh
Barcelona. Filosofi tique-taqa sejatinya juga bicara mengenai beban
mental yang harus dibagi oleh 11 pemain, tapi ketika Messi sendirian
menjadi yang terbaik, sendirian yang mengubah keadaan, sendirian yang
menjadi penentu, maka beban ini tumpah ke pundak Messi dengan
sendirinya.
Ketika Barca kalah atau imbang, maka setiap orang akan berfikir: “Ada apa dengan Messi?”
Kepercayaan diri pemain Barca akhirnya tergantung
oleh satu pemain ini. Bahkan Pep Guardiola yang harusnya mampu membaca
hal ini dan mengantisipasinya, justru ikut larut dan mabuk oleh
kehebatan pemainnya sendiri. “Kami punya Messi,” adalah kata-kata
boomerang Guardiola sebelum bertemu dengan Chelsea.
Sialnya, Barca bertemu Chelsea yang sedang dalam
kondisi compang-camping karena adanya pergantian manajemen dan kekalahan
demi kekalahan di Liga, tapi kondisi “penuh derita” Chelsea menjadikan
mereka sebagai satu kesatuan tim. Lihat bagaimana hubungan Di Matteo
dengan para pemain senior; Drogba, Lampard, Terry, dan Petr Cech mereka
begitu kompak, saling bekerja sama, dan yang paling penting:
Menuhankan TIM!
Source : Ahmadkhadafi
Sepakbola Adalah Kesunyian Masing-Masing
Dalam dunia yang hanya bercerita soal sepakbola, tiap umat punya “Tuhan”-nya masing-masing.
Orang Argentina “beriman” pada Maradona. Brazil “menyembah” Pele. Belanda “bertawakal” pada Cruyff. Jerman “memberhalakan” Beckenbauer. Dan masih banyak lagi “Tuhan” lainnya. Kita belum menyebut Meazza untuk Italia, Bobby Charlton bagi Inggris, Puskas di Hongaria, Roger Milla untuk Kamerun, atau Ji Sung bagi rakyat Korea Selatan.
Tapi, apa yang saya sebutkan diatas adalah segelintir “Tuhan-Tuhan” yang diampu sekaligus dirawat, dipupuk sekaligus dipanen, oleh media dan industri sepakbola hingga cerita tentang mereka memanjang dalam ingatan dan terentang dalam waktu yang tak terhitung lamanya.
Pertanyaannya: siapakah “Tuhan” bagi negeri yang sepakbolanya nyaris tidak dikenal orang banyak? Atau, jika sarkasme diperbolehkan: siapakah “Tuhan” yang jika kita mendengar tanah asalnya bisa bikin kita tergelitik? Kepulauan Fiji, misalnya.
Tentu sedikit sekali yang tahu. Saya cuma pernah mengenal nama Waisale Tikoisolomoni Serevi. Ia adalah pesepakbola legendaris dari Fiji. Memenangi tujuh gelar Liga, bermain sebanyak 39 kali di rentang waktu antara 1989 sampai dengan 2003 dan mencetak 376 gol sepanjang karir.
Prestasi fenomenalnya adalah membawa Fiji menjadi juara dunia dua kali. Ini serius. Tercatat dalam sejarah dan Wikipedia. Di masanya sebagai pemain, Serevi membawa Fiji sukses merengkuh dua buah piala dunia…
…rugby.
Sungguh sulit untuk melacak arsip sepakbola di negeri yang urusan sepakbolanya tak mentereng dan tak jadi bahan perbincangan sepakbola arus industri. Harus diakui, pada level ketaktahuan kita dalam hal ini, kita terlampau asik dengan “Tuhan-Tuhan Besar”. Kita cenderung melupakan bahwa sebelum “Tuhan Langit” hadir, ada “Tuhan Tanah” yang menjadi sesembahan manusia berabad-abad lamanya.
Dalam hal ini, “Tuhan-Tuhan Besar” dalam sepakbola adalah mereka yang dikenal karena kontroversi dan prestasinya disebarluaskan oleh media. Hal ini tak pelak banyak “Tuhan” yang merasa kesepian di tempat nun jauh disana. Jauh dari hiruk pikuk perayaan dan festival warga dunia. Jauh, sangat jauh dari hingar bingar pesta pora akbar yang melibatkan ratusan juta pasang mata.
Dan karena itu benar kiranya Bono yang mengatakan bahwa “agama adalah sebuah klub”. Banyak orang berduyun-duyun memasuki klub yang dianggap paling eksklusif dan ternama untuk mencitrakan diri sebagai orang yang paling “beriman”.
Dan jika sepakbola adalah agama, disana, “Tuhan” diperlakukan sebagai alat, sebagai objek yang senantiasa dipanggul dan diarak, dihujat dan diruntuhkan. Lalu orang mengenangnya dengan nostalgia yang kecut. Tak sedikit pula yang sibuk kasak-kusuk cari “Tuhan” baru yang lebih progresif.
Ah, sepakbola dan “tuhan”. Saya jadi ingin memelintir penggalan bait puisi Chairil Anwar:
“Sepakbola adalah kesunyian masing-masing”.
Source : Goodbyepele
Orang Argentina “beriman” pada Maradona. Brazil “menyembah” Pele. Belanda “bertawakal” pada Cruyff. Jerman “memberhalakan” Beckenbauer. Dan masih banyak lagi “Tuhan” lainnya. Kita belum menyebut Meazza untuk Italia, Bobby Charlton bagi Inggris, Puskas di Hongaria, Roger Milla untuk Kamerun, atau Ji Sung bagi rakyat Korea Selatan.
Tapi, apa yang saya sebutkan diatas adalah segelintir “Tuhan-Tuhan” yang diampu sekaligus dirawat, dipupuk sekaligus dipanen, oleh media dan industri sepakbola hingga cerita tentang mereka memanjang dalam ingatan dan terentang dalam waktu yang tak terhitung lamanya.
Pertanyaannya: siapakah “Tuhan” bagi negeri yang sepakbolanya nyaris tidak dikenal orang banyak? Atau, jika sarkasme diperbolehkan: siapakah “Tuhan” yang jika kita mendengar tanah asalnya bisa bikin kita tergelitik? Kepulauan Fiji, misalnya.
Tentu sedikit sekali yang tahu. Saya cuma pernah mengenal nama Waisale Tikoisolomoni Serevi. Ia adalah pesepakbola legendaris dari Fiji. Memenangi tujuh gelar Liga, bermain sebanyak 39 kali di rentang waktu antara 1989 sampai dengan 2003 dan mencetak 376 gol sepanjang karir.
Prestasi fenomenalnya adalah membawa Fiji menjadi juara dunia dua kali. Ini serius. Tercatat dalam sejarah dan Wikipedia. Di masanya sebagai pemain, Serevi membawa Fiji sukses merengkuh dua buah piala dunia…
…rugby.
Sungguh sulit untuk melacak arsip sepakbola di negeri yang urusan sepakbolanya tak mentereng dan tak jadi bahan perbincangan sepakbola arus industri. Harus diakui, pada level ketaktahuan kita dalam hal ini, kita terlampau asik dengan “Tuhan-Tuhan Besar”. Kita cenderung melupakan bahwa sebelum “Tuhan Langit” hadir, ada “Tuhan Tanah” yang menjadi sesembahan manusia berabad-abad lamanya.
Dalam hal ini, “Tuhan-Tuhan Besar” dalam sepakbola adalah mereka yang dikenal karena kontroversi dan prestasinya disebarluaskan oleh media. Hal ini tak pelak banyak “Tuhan” yang merasa kesepian di tempat nun jauh disana. Jauh dari hiruk pikuk perayaan dan festival warga dunia. Jauh, sangat jauh dari hingar bingar pesta pora akbar yang melibatkan ratusan juta pasang mata.
Dan karena itu benar kiranya Bono yang mengatakan bahwa “agama adalah sebuah klub”. Banyak orang berduyun-duyun memasuki klub yang dianggap paling eksklusif dan ternama untuk mencitrakan diri sebagai orang yang paling “beriman”.
Dan jika sepakbola adalah agama, disana, “Tuhan” diperlakukan sebagai alat, sebagai objek yang senantiasa dipanggul dan diarak, dihujat dan diruntuhkan. Lalu orang mengenangnya dengan nostalgia yang kecut. Tak sedikit pula yang sibuk kasak-kusuk cari “Tuhan” baru yang lebih progresif.
Ah, sepakbola dan “tuhan”. Saya jadi ingin memelintir penggalan bait puisi Chairil Anwar:
“Sepakbola adalah kesunyian masing-masing”.
Source : Goodbyepele
Tragedi Itu Bernama Sepakbola
Sepak
bola adalah bukti bahwa manusia menyimpan kengerian fasis dalam dirinya
masing-masing. Sebuah permainan yang awalnya lahir sebagai sebuah
kesenangan berubah menjadi ajang pertempuran ala gladiator. Sepakbola
menemunkan jalannya sendiri sebagai pemuas nafsu purba manusia atas
dominasi.
Lihat berapa banyak manusia yang
menjadi korban dari sepak bola. Di luar dan di dalam lapangan, sepak
bola, menjadikan manusia mahluk a sosial yang memangsa manusia lain.
Menumbuhkan sikap persaingan dan dominasi. Bukan lagi fair play dan kesenangan. Sepak bola adalah apa yang kita kini biasa kita sebut tragedi kemanusiaan.
Dalam sepak bola kemenangan tidak
memiliki arti lain. Bukan lagi kesempatan bersosialisasi. Adu skil dan
juga adu strategi. Semua lebur dalam kaca mata kepentingan kemenangan.
Menang adalah saat satu tim mengalahkan tim lain dengan marjin angka
yang lebar. Juga saat tim menghalalkan segala cara, termasuk
bersekongkol dengan wasit, untuk mencapai kemenangan.
Seringkali para pendukung adalah
sekumpulan umat yang buta. Mereka menutup mata saat timnya menang dengan
cara yang kotor. Karena dalam lapangan. Sepak bola bukan lagi sebuah
ajang adu kemampuan. Sepakbola telah menjadi coloseum dimana para
gladiator bertanding untuk memuaskan keinginan kemenangan para
pendukungnya. Ia telah luluh dalam segala yang kita namai agresivitas.
Semua pendukung Liverpool dan Juventus pasti tak akan pernah melupakan Tragedi Heysel yang terjadi pada 29 Mei 1985. Di
salah satu laga Piala Champions pendukung dari masing-masing tim saling
menghina. Kebanggaan semu dan agresivitas pendukung hidup karena enggan
idola mereka diclecehkan. Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai
pendukung Liverpool masuk ke wilayah pendukung Juventus.
Namun bukannya pertumpahan darah
karena baku pukul yang terjadi. Melainkan lemahnya dinding pembatas di
salah satu sisi stadion tersebut. Menampung ribuan orang pada satu titik
membuat penyangga dinding kehilangan kekuatan dan roboh. Harga untuk
sebuah kebanggan semu dan taklid buta itu adalah nyawa dari 39 orang dan
luka dari 600 orang lainnya.
Konon untuk mengenang kematian
yang disebabkan ego itu. Sebuah puisi karya W. H Auden berjudul “Funeral
Blues” dituliskan dalam sebuah plakat. Serta memorabilia berupa 39
lampu bersinar untuk setiap korban Heysel. Tugu peringatan ini didesain
oleh seniman Perancis Patrick Remoux. Di sini sepakbola telah kehilangan
maknanya sebagai sebuah rekreasi dan berganti menjadi arena jagal.
Sepakbola mengalami komodifikasi dari sebuah proses mengisi Leisure Time menjadi tuntutan untuk pemenuhan premordial pride.
Padalah dalam banyak narasi sepakbola adalah insureksi. Ia menjadi
sarana perlawanan bagi yang liyan untuk melawan para tiran. Kisah para pejuang Basque dan Catalan, melawan despot Franco melalui madrid. Di lapangan bola tidak ada pemain yang bersih dari lumpur, termasuk juga para pemiliknya.
Semua diehard Barcelona
pasti akan mengingat pertandingan melawan Real Madrid 1943. dimana saat
itu mereka harus menyerah kalah dengan kedudukan 11-1. Semua karena
perintah Franco yang merasa kalah karena pada laga semifinal semifinal
sebelumnya di Copa del Generalisimo (kini disebut Copa del Rey)
Barca menang 3-0. Franco tentu marah karena harus dikalahkan oleh tim
yang dianggap ”pengganggu stabilitas Spanyol”.
Jelang pertandingan leg kedua,
seorang pejabat intelejen keamanan Spanyol memperingatkan para pemain
Catalan. Bahwa mereka masih bisa hidup dan bermain bola tidak lain
karena sikap dermawan Franco. ”Maka tahu dirilah kalian,” kira kira
seperti itu yang ingin dikatakan oleh Franco. Hasilnya? Tim Madrid
memimpin 8-0 pada paruh pertama untuk kemudian mempercundangi Barcelona dengan hasil 11-1 luka selama enam dekade itu masih belum lunas terbayar hingga saat ini.
Para penonton (atau katakan
maniak bola) modern terlanjur disuguhi oleh permainan yang terukur,
diprediksi, diramu dan diolah dengan teknologi dan pengetahuan modern.
Tidak ada lagi kejutan dalam sepak bola. Karena semua telah diprediksi
dan diukur melalui variabel-variabel bernama transfer, pelatih, modal
dan juga wasit. Seringkali kita sudah terlanjur tutup mata pada hal-hal
yang demikian.
Pendukung (atau fans) klub adalah
sekumpulan naif yang tutup mata demi kemenangan. Mereka adalah para
serigala yang haus gelar dan dominasi. Tidak ada lagi yang bernama
kemenangan yang terhormat. Permainan yang baik. Atau pun proses yang
total. Kemenangan adalah harga mutlak eksistensi seorang pemain dan
seorang pelatih.
Gambaran sempurna para fans
adalah umat Musa dibawah bukit Sinai seusai menyeberang dari Mesri.
Sekumpulan mahluk manja yang ingin selalu dipuaskan, dimanjakan dan
diberikan kemudahan. Menuntut para pemain, pelatih, dan pemilik klub
untuk selalu menang. Selalu memperoleh gelar dan akhirnya selalu
mendominasi.
Tuntutan akan kemenangan itulah
yang akhirnya menyingkirkan para pecundang dari panggung dunia. Mereka
sekedar menjadi remah dan penggembira dalam setiap laga. Menjadi sekedar
”pengisi agar sebuah liga tidak berisi tim pemenang yang itu-itu
saja,”. Seolah menggenapi diktum George Orwell. Siapapun penguasa saat
ini akan menguasai sejarah masa lampau dan masa depan.
Kita tentu masih ingat pemain
kolombia yang harus meregang nyawa karena kalah pada sebuah pertandingan
piala dunia. Dengan dingin Andreas Escobar dibunuh dengan keji karena
mencetak gol bunuh diri yang membuat timnya kalah. Juga cerita dimana
tim sepak bola Korea Utara harus turun menjadi buruh seusai menjadi
bintang di pentas dunia.
Sepak bola kini diukur dari
seberapa banyak tropi yang dimenangkan sebuah klub. Diukur dari seberapa
banyak gelar yang ia menangkan dalam liga. Bukan lagi mengukur dari
seberapa indahnya pertandingan yang digelar. Sebuah pertandingan yang
buruk tetap akan menjadi legenda jika hal itu melahirkan pemenang.
Sebenarnya apa artinya menjadi
seorang pendukung klub sepakbola? Kita menonton keindahan dalam
pertandingan. Atau menuntut hasil kemenangan tanpa cela? Apakah sebuah
gelar lebih penting dari totalitas bertanding di lapangan? Atau menjadi
lebih hina karena dalam satu putaran musim klub tak memenangkan gelar
apapun. Pelan-pelan pendukung telah menjadi seorang kanibal yang
menuntut klubnya terus dominan.
Untuk itu nihilisme
dalam sepakbola adalah sebuah keniscayaan. Sepakbola harus ditempatkan
sebagai sebuah dagelan yang lakon, tokoh, gerak dan narasinya telah
diprediksi. Mereka yang mempercayai masih ada ketulusan dalam lapangan
adalah seorang yang benar-benar naif (atau tolol?). Dalam setiap
pertandingan, pertaruhan merupakan efek apa boleh buat.
Mereka yang meyakini ada tuhan
dilapangan adalah para manusia naif yang perlu ditampar untuk diberi
kesadaran. Maradona menjadi tuhan karena ia menentukan kemenangan
Argentina dengan insting dan kemampuannya sendiri. Ia bukan santo soleh yang selalu membaca doa novena setiap malam. Malah si jugador bola ini adalah Beelzebub si rakus narkotika.
Tuhan
telah tamat nasibnya saat peluit babak pertama sebuah pertandingan bola
dimulai. Di situ seorang mafia judi bisa mengatur irama pertandingan
dengan todongan pistol. Seorang pemilik klub bisa menyogok dengan
tumpukan uang untuk meengendalikan ritme pertandingan. Mereka yang masih
meyakini sebuah pertandingan bebas dari kepentingan. Adalah
sebenar-benarnya manusia naif yang perlu diberi petasan untuk bisa
sadar.
Source : Amandhani
Langganan:
Postingan (Atom)