Dalam dunia yang hanya bercerita soal sepakbola, tiap umat punya “Tuhan”-nya masing-masing.
Orang Argentina “beriman” pada Maradona. Brazil “menyembah” Pele.
Belanda “bertawakal” pada Cruyff. Jerman “memberhalakan” Beckenbauer.
Dan masih banyak lagi “Tuhan” lainnya. Kita belum menyebut Meazza untuk
Italia, Bobby Charlton bagi Inggris, Puskas di Hongaria, Roger Milla
untuk Kamerun, atau Ji Sung bagi rakyat Korea Selatan.
Tapi, apa yang saya sebutkan diatas adalah segelintir “Tuhan-Tuhan”
yang diampu sekaligus dirawat, dipupuk sekaligus dipanen, oleh media dan
industri sepakbola hingga cerita tentang mereka memanjang dalam ingatan
dan terentang dalam waktu yang tak terhitung lamanya.
Pertanyaannya: siapakah “Tuhan” bagi negeri yang sepakbolanya nyaris
tidak dikenal orang banyak? Atau, jika sarkasme diperbolehkan: siapakah
“Tuhan” yang jika kita mendengar tanah asalnya bisa bikin kita
tergelitik? Kepulauan Fiji, misalnya.
Tentu sedikit sekali yang tahu. Saya cuma pernah mengenal nama
Waisale Tikoisolomoni Serevi. Ia adalah pesepakbola legendaris dari
Fiji. Memenangi tujuh gelar Liga, bermain sebanyak 39 kali di rentang
waktu antara 1989 sampai dengan 2003 dan mencetak 376 gol sepanjang
karir.
Prestasi fenomenalnya adalah membawa Fiji menjadi juara dunia dua
kali. Ini serius. Tercatat dalam sejarah dan Wikipedia. Di masanya
sebagai pemain, Serevi membawa Fiji sukses merengkuh dua buah piala
dunia…
…rugby.
Sungguh sulit untuk melacak arsip sepakbola di negeri yang urusan
sepakbolanya tak mentereng dan tak jadi bahan perbincangan sepakbola
arus industri. Harus diakui, pada level ketaktahuan kita dalam hal ini,
kita terlampau asik dengan “Tuhan-Tuhan Besar”. Kita cenderung melupakan
bahwa sebelum “Tuhan Langit” hadir, ada “Tuhan Tanah” yang menjadi
sesembahan manusia berabad-abad lamanya.
Dalam hal ini, “Tuhan-Tuhan Besar” dalam sepakbola adalah mereka yang
dikenal karena kontroversi dan prestasinya disebarluaskan oleh media.
Hal ini tak pelak banyak “Tuhan” yang merasa kesepian di tempat nun jauh
disana. Jauh dari hiruk pikuk perayaan dan festival warga dunia. Jauh,
sangat jauh dari hingar bingar pesta pora akbar yang melibatkan ratusan
juta pasang mata.
Dan karena itu benar kiranya Bono yang mengatakan bahwa “agama adalah
sebuah klub”. Banyak orang berduyun-duyun memasuki klub yang dianggap
paling eksklusif dan ternama untuk mencitrakan diri sebagai orang yang
paling “beriman”.
Dan jika sepakbola adalah agama, disana, “Tuhan” diperlakukan sebagai
alat, sebagai objek yang senantiasa dipanggul dan diarak, dihujat dan
diruntuhkan. Lalu orang mengenangnya dengan nostalgia yang kecut. Tak
sedikit pula yang sibuk kasak-kusuk cari “Tuhan” baru yang lebih
progresif.
Ah, sepakbola dan “tuhan”. Saya jadi ingin memelintir penggalan bait puisi Chairil Anwar:
“Sepakbola adalah kesunyian masing-masing”.
Source : Goodbyepele
Tidak ada komentar:
Posting Komentar