Lihat berapa banyak manusia yang
menjadi korban dari sepak bola. Di luar dan di dalam lapangan, sepak
bola, menjadikan manusia mahluk a sosial yang memangsa manusia lain.
Menumbuhkan sikap persaingan dan dominasi. Bukan lagi fair play dan kesenangan. Sepak bola adalah apa yang kita kini biasa kita sebut tragedi kemanusiaan.
Dalam sepak bola kemenangan tidak
memiliki arti lain. Bukan lagi kesempatan bersosialisasi. Adu skil dan
juga adu strategi. Semua lebur dalam kaca mata kepentingan kemenangan.
Menang adalah saat satu tim mengalahkan tim lain dengan marjin angka
yang lebar. Juga saat tim menghalalkan segala cara, termasuk
bersekongkol dengan wasit, untuk mencapai kemenangan.
Seringkali para pendukung adalah
sekumpulan umat yang buta. Mereka menutup mata saat timnya menang dengan
cara yang kotor. Karena dalam lapangan. Sepak bola bukan lagi sebuah
ajang adu kemampuan. Sepakbola telah menjadi coloseum dimana para
gladiator bertanding untuk memuaskan keinginan kemenangan para
pendukungnya. Ia telah luluh dalam segala yang kita namai agresivitas.
Semua pendukung Liverpool dan Juventus pasti tak akan pernah melupakan Tragedi Heysel yang terjadi pada 29 Mei 1985. Di
salah satu laga Piala Champions pendukung dari masing-masing tim saling
menghina. Kebanggaan semu dan agresivitas pendukung hidup karena enggan
idola mereka diclecehkan. Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai
pendukung Liverpool masuk ke wilayah pendukung Juventus.
Namun bukannya pertumpahan darah
karena baku pukul yang terjadi. Melainkan lemahnya dinding pembatas di
salah satu sisi stadion tersebut. Menampung ribuan orang pada satu titik
membuat penyangga dinding kehilangan kekuatan dan roboh. Harga untuk
sebuah kebanggan semu dan taklid buta itu adalah nyawa dari 39 orang dan
luka dari 600 orang lainnya.
Konon untuk mengenang kematian
yang disebabkan ego itu. Sebuah puisi karya W. H Auden berjudul “Funeral
Blues” dituliskan dalam sebuah plakat. Serta memorabilia berupa 39
lampu bersinar untuk setiap korban Heysel. Tugu peringatan ini didesain
oleh seniman Perancis Patrick Remoux. Di sini sepakbola telah kehilangan
maknanya sebagai sebuah rekreasi dan berganti menjadi arena jagal.
Sepakbola mengalami komodifikasi dari sebuah proses mengisi Leisure Time menjadi tuntutan untuk pemenuhan premordial pride.
Padalah dalam banyak narasi sepakbola adalah insureksi. Ia menjadi
sarana perlawanan bagi yang liyan untuk melawan para tiran. Kisah para pejuang Basque dan Catalan, melawan despot Franco melalui madrid. Di lapangan bola tidak ada pemain yang bersih dari lumpur, termasuk juga para pemiliknya.
Semua diehard Barcelona
pasti akan mengingat pertandingan melawan Real Madrid 1943. dimana saat
itu mereka harus menyerah kalah dengan kedudukan 11-1. Semua karena
perintah Franco yang merasa kalah karena pada laga semifinal semifinal
sebelumnya di Copa del Generalisimo (kini disebut Copa del Rey)
Barca menang 3-0. Franco tentu marah karena harus dikalahkan oleh tim
yang dianggap ”pengganggu stabilitas Spanyol”.
Jelang pertandingan leg kedua,
seorang pejabat intelejen keamanan Spanyol memperingatkan para pemain
Catalan. Bahwa mereka masih bisa hidup dan bermain bola tidak lain
karena sikap dermawan Franco. ”Maka tahu dirilah kalian,” kira kira
seperti itu yang ingin dikatakan oleh Franco. Hasilnya? Tim Madrid
memimpin 8-0 pada paruh pertama untuk kemudian mempercundangi Barcelona dengan hasil 11-1 luka selama enam dekade itu masih belum lunas terbayar hingga saat ini.
Para penonton (atau katakan
maniak bola) modern terlanjur disuguhi oleh permainan yang terukur,
diprediksi, diramu dan diolah dengan teknologi dan pengetahuan modern.
Tidak ada lagi kejutan dalam sepak bola. Karena semua telah diprediksi
dan diukur melalui variabel-variabel bernama transfer, pelatih, modal
dan juga wasit. Seringkali kita sudah terlanjur tutup mata pada hal-hal
yang demikian.
Pendukung (atau fans) klub adalah
sekumpulan naif yang tutup mata demi kemenangan. Mereka adalah para
serigala yang haus gelar dan dominasi. Tidak ada lagi yang bernama
kemenangan yang terhormat. Permainan yang baik. Atau pun proses yang
total. Kemenangan adalah harga mutlak eksistensi seorang pemain dan
seorang pelatih.
Gambaran sempurna para fans
adalah umat Musa dibawah bukit Sinai seusai menyeberang dari Mesri.
Sekumpulan mahluk manja yang ingin selalu dipuaskan, dimanjakan dan
diberikan kemudahan. Menuntut para pemain, pelatih, dan pemilik klub
untuk selalu menang. Selalu memperoleh gelar dan akhirnya selalu
mendominasi.
Tuntutan akan kemenangan itulah
yang akhirnya menyingkirkan para pecundang dari panggung dunia. Mereka
sekedar menjadi remah dan penggembira dalam setiap laga. Menjadi sekedar
”pengisi agar sebuah liga tidak berisi tim pemenang yang itu-itu
saja,”. Seolah menggenapi diktum George Orwell. Siapapun penguasa saat
ini akan menguasai sejarah masa lampau dan masa depan.
Kita tentu masih ingat pemain
kolombia yang harus meregang nyawa karena kalah pada sebuah pertandingan
piala dunia. Dengan dingin Andreas Escobar dibunuh dengan keji karena
mencetak gol bunuh diri yang membuat timnya kalah. Juga cerita dimana
tim sepak bola Korea Utara harus turun menjadi buruh seusai menjadi
bintang di pentas dunia.
Sepak bola kini diukur dari
seberapa banyak tropi yang dimenangkan sebuah klub. Diukur dari seberapa
banyak gelar yang ia menangkan dalam liga. Bukan lagi mengukur dari
seberapa indahnya pertandingan yang digelar. Sebuah pertandingan yang
buruk tetap akan menjadi legenda jika hal itu melahirkan pemenang.
Sebenarnya apa artinya menjadi
seorang pendukung klub sepakbola? Kita menonton keindahan dalam
pertandingan. Atau menuntut hasil kemenangan tanpa cela? Apakah sebuah
gelar lebih penting dari totalitas bertanding di lapangan? Atau menjadi
lebih hina karena dalam satu putaran musim klub tak memenangkan gelar
apapun. Pelan-pelan pendukung telah menjadi seorang kanibal yang
menuntut klubnya terus dominan.
Untuk itu nihilisme
dalam sepakbola adalah sebuah keniscayaan. Sepakbola harus ditempatkan
sebagai sebuah dagelan yang lakon, tokoh, gerak dan narasinya telah
diprediksi. Mereka yang mempercayai masih ada ketulusan dalam lapangan
adalah seorang yang benar-benar naif (atau tolol?). Dalam setiap
pertandingan, pertaruhan merupakan efek apa boleh buat.
Mereka yang meyakini ada tuhan
dilapangan adalah para manusia naif yang perlu ditampar untuk diberi
kesadaran. Maradona menjadi tuhan karena ia menentukan kemenangan
Argentina dengan insting dan kemampuannya sendiri. Ia bukan santo soleh yang selalu membaca doa novena setiap malam. Malah si jugador bola ini adalah Beelzebub si rakus narkotika.
Tuhan
telah tamat nasibnya saat peluit babak pertama sebuah pertandingan bola
dimulai. Di situ seorang mafia judi bisa mengatur irama pertandingan
dengan todongan pistol. Seorang pemilik klub bisa menyogok dengan
tumpukan uang untuk meengendalikan ritme pertandingan. Mereka yang masih
meyakini sebuah pertandingan bebas dari kepentingan. Adalah
sebenar-benarnya manusia naif yang perlu diberi petasan untuk bisa
sadar.
Source : Amandhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar