Kita lama mengenal anarkisme sebagai sebuah wahab tentang kekerasan.
Terlepas dari etika yang dianut para anarkis tadi, anarkisme ternyata
turut menyumbangkan konsep ideal tentang perwujudan nilai humanisme
universal: sebuah asas kemerdekaan tiap individu semutlak-mutlaknya.
Sepenuh-penuhnya.
Hingga tak ada satu bentuk kekuasaan dalam porsi segenggam tangan pun
yang dapat mengambilalih kekuasaan individu lain. Cita-cita yang agung
mengingat selama ini anarkisme selalu dininabobokan sejarah sebagai
sebuah entitas kelam yang melandasi kejahatan manusia.
Dan bicara anarkisme, acapkali muncul pertanyaan klise bernada
utopian: bagaimana itu semua mungkin? Ketika setiap manusia memiliki
jatah kekuasaan tanpa ada sebuah otoritas resmi yang membatasi, bayangan
yang terpacak kemudian hanyalah chaos. Bagaimana mungkin sebuah konsep humanisme universal menawarkan antiserum yang bercirikan kekacauan seperti itu?
Saya akan mencoba mengomparasikan anarkisme sebagai filosofi dengan prinsip Total Football.
Jack Reynolds mungkin tak akan pernah membayangkan konsep
sederhananya tentang ritme sepakbola menyerang akan menjadi sebuah
revolusi. Ditangan Rinus Michels, revolusi itu memang benar terjadi.
Sebuah revolusi yang kita kenal dengan nama Total Football. Cikal bakal revolusi ini bermula ketika Reynolds menjadi head coach
Ajax Amsterdam pada kurun waktu 1915-1925,1928-1940,1945-1947. Saat itu
dia beranggapan bahwa Belanda belum memiliki filosofi dasar dalam
bermain sepakbola.
Maka, lewat Ajax, dia menelurkan sebuah cetak biru filosofi gaya
bermain sepakbola yang kemudian diadopsi (dimodifikasi) oleh Rinus
Michels. Melalui Michels, yang juga melatih Ajax pada peralihan 1960-an
dan 1970-an Total Football menjadi sebuah endemik dalam sepakbola.
Bak seorang The Great Alexander, dia seakan berteriak lantang pada dunia dalam menyuarakan revolusinya: pertahanan terbaik adalah menyerang.
Helenio Hererra, pencetus Catennacio boleh tidak sepakat
bahwa dengan menyerang pertahanan akan kian kokoh. Tetapi, bagi penikmat
sepkabola ofensif, dimana tendesi menekan lawan sampai keakar-akarnya
diberlakukan, ditambah dengan ritme bermain yang memanjakan mata,
pelatih Inter Milan tersukses asal Argentina itu dipastikan akan
mengangguk setuju.
Well, Catennacio memang tidak dianugerahi hal-hal seperti itu.
Total football memang spesial, juga rumit. Hal ini salah
satunya dilandasi karena Michels menganggap bahwa agar Total Football
berlangsung mulus, kuncinya terletak pada fleksibilitas antar lini yang
harus berlangsung tanpa jeda. Ritme permainan bergulir lewat pakem
kolektifitas yang kuat. selain fisik yang mendukung, intelegensia tiap
pemain juga memiliki nilai penting dalam skema Total football.
Johan Neskeens di sayap kiri tidak jarang harus mem-backup Ruud Kroll
yang acapkali naik menyisir sisi kanan pertahanan lawan. Johan Cruijf
tidak boleh menunggu dengan pasif aliran bola dari lini belakang bila
memang tersendat.
Bola harus dijemput dari bawah dengan ikut menambal sektor
pertahanan. Kalau perlu Cruijf, yang berposisi sebagai playmaker, harus
merancang skema serangan dari bawah.
Cruijf memang pantas mendapat kredit poin tersendiri dalam implementasi Total Football
dilapangan. Fisik yang kuat, visi bermain yang cerdas, skill yang
menawan, dan kegigihan untuk ikut membantu pertahanan, menjadi tolak
ukur Cruijf mengapa sampai kemudian Michel sempat berujar: “Perlu 5-6
orang Cruijf agar Total Football berjalan sempurna.”
Ucapan Michels tadi dapat diartikan bahwa, Total Football,
yang bagi banyak orang sudah sangat representatif sebagai sistem
permainan sepakbola yang ideal, ternyata masih memiliki banyak lubang.
Ya, Total Football memang tidak sesempurna seperti yang sering kita duga.
Banyak pelatih asal Belanda yang dulunya mantan anak asuh Michels,
mengalami kesulitan menerapkan gaya ini secara kontekstual. Johan Cruijf
pada awalnya memang berhasil melejitkan Barcelona sebagai salah satu Dream Team pada medio 90-an.
Dengan kualitas merata disegala lini, Barcelona di bawah asuhan
Cruijf memang superior. Tetapi, superioritas tersebut menjadi sampah
tatkala dia harus menghadapi AC Milan dengan pelatih yang saat itu
bahkan belum memiliki sertifikat kepelatihan: Fabio Capello.
Efisiensi Milan, ditambah dengan kuartet pertahanan terbaik di dunia
saat itu (Fraco Baresi, Alessandro Costacurta, Paolo Maldini dan Mauro
Tassoti) membuat duet maut Sthoickov dan Romario bak pemain kelas dua.
Tendangan geledek Ronald Koeman, seakan lepuh. Kiper tangguh, Andoni
Zubizarreta, bak menjadi seorang kiper kelas C.
Dan Barca sendiri, yang sebelum bermain memang sudah menyemat label Dream Team dilapangan seakan menjadi tim yang baru promosi segunda divison La Liga. Singkat kata, Cattenacio berhasil mempecundangi Total Football. Skor telak 4-0 menjadi bukti betapa Milan dengan Catennacio-nya berhasil meraih trofi Liga Champions-nya yang kelima.
Saat itu Milan memang bermain dengan semangat Cattenacio
yang kental. Membiarkan lawan menekan, memegang bola, pertahanan dibuat
serapat mungkin, lantas rebut di saat yang tepat: bunuh!
14 tahun kedepan, Van Basten, mantan penyerang top Belanda dan AC
Milan pada medio 90-an, yang juga pernah mendapat penanganan langsung
dari Michels saat Belanda merengkuh gelar juara Euro 1988, (hampir) berhasil memparadekan kembali keganasan Total Football
pada pagelaran Euro 2008 lalu ketika melatih Tim Oranye. Bergabung di
“grup neraka” bersama Italia dan Prancis, Belanda sukses mempecundangi
kedua juara dunia itu dengan skor telak 3-0 dan 1-4.
Pola 4-2-3-1 yang digunakan Basten memang efektif. Dengan memainkan
dua jangkar sekaligus guna mengamankan jalur tengah, Belanda dapat
mengalirkan bola sekaligus menekan lawan dengan lancar dari segala lini.
Tetapi, lagi-lagi saja Belanda dengan Total Football-nya kembali terlempar dari bursa juara setelah pada perempat final kandas oleh Rusia dengan skor 3-1 dalam perpanjangan waktu.
Efisiensi permainan ala Jerman Barat 1974 (ketika mengubur harapan
Belanda menjadi Juara Dunia di Final 1974) dipraktekan Rusia demi
mengatur permainan dengan seefisien mungkin, terbukti ampuh. Pertahanan
yang kokoh dan tidak bertele-tele dalam memanfaatkan peluang membuat
Basten dan Belanda harus angkat koper lebih awal.
Lantas, sekali lagi muncullah pertanyaan ini di kepala setiap pecinta Total Football: apa yang membuat Total Football, yang pada praksisnya tampak seperti sebuah kulit tanpa cacat, cenderung mudah disayat-sayat?
Dalam banyak pertandingan, dapat terlihat bahwa Total Football cenderung mengeksploitasi lapangan sampai kesudut-sudutnya. Begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin.
Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut
untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain
bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus
dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung
pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu
sempit.
Ini ditenggarai, seperti dalam buku David Winner yang terjemahan
bebasnya kira-kira berjudul, “Oranye Brilian — Jenius dan Gilanya
Sepakbola Belanda” sebagai pengejawantahan “psyche” paling dasar warga
Belanda dalam memahami kehidupan.
Total Football, demikian jelas buku tadi, adalah persoalan
ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi
pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk
menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.
Dalam eksploitasi tersebut tentu saja Total Football
cenderung memosisikan skill tiap pemain sebagai “nada” ketika orkestrasi
Total Football dimulai ketika melakukan pembabatan terhadap lawan.
Serangan dapat bermula dari siapa saja (walau biasanya, skema serangan
selalu diawali dari kaki Cruijf). Dapat melalui sayap, tengah atau
bahkan long ball ala Kick n’ Rush Inggris, umpan panjang dari area pertahanan menuju ke daerah siaga lawan.
Hal inilah, menurut hemat saya, tidak dipungkiri menjadi salah satu
penyebab dualisme yang seringkali betubrukan dalam gerak ritmik Belanda
saat bermain. Pada satu sisi, gaya permainan ofensif Total Football yang cenderung berubah-ubah membuat lawan tidak dapat mendeteksi arah permainan Belanda.
Tetapi, di sisi lain, Total Football mengalami kesulitan
dalam memulai serangan karena kebiasaan mereka yang sering berubah-ubah
dalam memulai serangan. Alasannya bisa saja sederhana untuk menjawab
mengapa pada saat tertentu Belanda kesulitan memulai serangan: karena
Cruijf dijaga sedemikian ketatnya, maka design serangan menjadi kelu,
tidak kreatif.
Tetapi, hanya orang bodoh yang berfikir senaif itu. Ibarat kompas
ditengah badai, arah mata angin menjadi kabur, seperti itulah ritme Total Football ketika memainkan temponya yang cenderung terbebas dari sistem ketat nan kaku.
Kebiasaan menusuk lawan dari segala lini dengan membabibuta, membuat
moda “penyerangan” itu sendiri, secara implisit telah menjadi kerangkeng
bagi Belanda. “Menyerang” nantinya menjadi semacam “institusi”
tersendiri yang membuat Belanda lupa akan sasaran bidik sebenarnya: gol.
Bahwa gol ternyata telah menjadi kebutuhan sekunder dalam pola ofensif Total Football
itu sendiri. Kebutuhan untuk menyerang dan terus menyerang membuat para
pemain Belanda kemudian secara tematis terkooptasi oleh naluri
menyerang yang tidak efisien.
Secara logis, Total Football sangat sederhana: serang lawan
sesering mungkin, maka gol, cepat atau lambat, akan diraih dan
kemenangan ibarat buah apel yang telah masak, siap untuk dipetik.
Akan tetapi, bila kebebasan dalam memilih (dalam hal ini koordinasi penyerangan ala Total Football) terlampau absolut, kemungkinan terbesar adalah gerak kacau yang membuyarkan proses pemilihan (penyerangan) itu tadi.
Inilah alasan teoritik mengapa kemudian tulisan ini mengidentifikasi Total Football
cenderung berbau anarkisme: sikap mereka dilandasi oleh kebebasan
absolut. Sepakbola dapat dimainkan tanpa pola dan bentuk yang jelas,
biarkan mengalir begitu saja.
Bebas, dalam setiap kepala para anarkis, seutopis apapun itu,
cenderung menjadi kebutuhan primer. Tak ada sikap patuh ketika kebebasan
untuk melakukan sesuatu telah dipasung. Bahkan sejengkal sekalipun.
Frasa DIY (Do It Yourself) yang membahana di kalangan Punk
Rock di Amerika Serikat menjadi kode para anarkis disetiap lapis bumi.
Bahwa dengan bebas berkehendak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan
dicirikan sebagai prototipe manusia merdeka.
Michels, disadarinya atau tidak, dengan memodifikasi Total Football
sebagai pola permainan sepakbola tanpa bentuk yang jelas, telah menjadi
seorang anarkis itu sendiri. Sepakbola, yang dipahaminya dapat
dimainkan tidak dengan melulu logika kolot yang sistemik, kemudian telah
menjadi kehendak kebebasan yang dimaksudkan.
“Manusia dikutuk oleh kebebasannya”, ujar Sartre. Relevan atau tidak,
Michels memang “dikutuk” pada final Piala Dunia dua kali
berturut-turut: 1974 dan 1978. Dan Belanda, ehem, hingga detik ini belum
juga terbebas dari kutukan “juara tanpa mahkota”.
Source : Goodbyepele
Tidak ada komentar:
Posting Komentar