“Kalau sampai Messi double hattrick, aku gundulin ini kepala!”
Untung benar kawan saya ini. Rambut keritingnya
akhirnya selamat, Messi “hanya” mencetak 5 gol ketika Barcelona menjamu
Bayern Leverkusen malam itu.
Hanya?
Oh, Oke. Mungkin banyak pemain yang pernah mencetak
4 gol dalam satu pertadingan Liga Champions, tapi untuk malam itu, ini
pertama kalinya dalam hidup saya melihat ada pemain bisa mencetak lima
gol dalam satu pertandingan.
Mungkin “Tuhan” Maradona dan “Tuhan” Pele pernah
melakukannya—mungkin tidak hanya pernah—tapi sering. Tapi tetap saja,
apa yang dilakukan Messi pada 7 Maret lalu itu sungguh luar biasa,
mengingat kompleksitas taktik dan fisik pemain sepakbola jaman sekarang
jauh lebih tinggi levelnya dari era di mana “Dua Tuhan” itu masih aktif
bermain.
Akan tetapi, kebesaran “The Little God” akhirnya
punya batas juga musim ini. Kita memang masih melihat gerakan
berhenti-berlari yang sukses bikin linu kaki, manuver “banting stir”
yang sukses bikin bek-bek terpeleset, atau keputusan super cepat untuk
men-drible, menendang, atau mengumpan yang bikin komentator BBC bingung
berkomentar dan menutupi kebisuan itu dengan tawa basi: “ha-ha-ha!”
Messi tetap hebat, tapi di kedua semifinal melawan Chelsea malam itu, Barca tidak menang, dan memang Barca tidak layak menang.
Drama Messi ini ditutup oleh gol tak terduga
Fernando Torres. Seorang pemain yang dianggap sudah habis sejak satu
setengah musim yang lalu. Lionel Messi tertunduk, malam itu Barca
takluk. Kalau saja Di Matteo pernah melihat acara Demian di Trans 7,
pasti dia akan berlari mendatangi kamera dan bilang: “Sempoa…”.
Beberapa hari sebelumnya di tempat yang sama, Nou
Camp, derita yang sama diciptakan oleh seorang pria yang dianggap
sebagai manusia termahal di planet bumi saat ini. Mendapatkan umpan
diagonal mendatar dari trequartista kelas dunia pertama Turki tapi
memperkuat Timnas Jerman, Mesut Ozil, si metrominiseksual, eh,
metroseksual Portugal berhasil mengejar umpan Ozil secepat kilat,
disambar, dua sentuhan Valdes terlewat dan “plung”; masuk. 2-1 untuk
Madrid.
Ronaldo segera berlari tenang ke ujung lapangan
sambil memberi aba-aba ke semua penonton agar mereka segera duduk
kembali di kursinya masing-masing dan tenang sejenak karena pertunjukkan
yang sebenarnya baru saja dimulai.
Ya, pria ini berhasil membuat seluruh anggota DPR
di gelanggang gedung “pemerintahan” bangsa Catalonia ini tidak bisa
menahan diri untuk tidak mengacungkan jari tengahnya.
Ronaldo lagi, Ronaldo lagi. Yup, nama itulah yang
banyak tersaji di headline surat kabar di Eropa keesokan harinya.
Kepopuleran nama itu membuat saya tidak perlu memberi deskripsi lagi
tentang robot super pemain sepakbola ini.
Toh akan sia-sia juga nantinya deskripsi saya.
Ibarat program komputer yang hanya diinstal perintah; “cetak gol
sebanyak mungkin!” maka Ronaldo secara otomatis akan memprosesnya dengan
caranya sendiri. Jadi data di mana jumlah golnya yang melebihi jumlah
rataan Ronaldo bermain musim ini kiranya cukuplah untuk menggambarkan
se-“Tuhan” apa sih Ronaldo itu.
Tapi “Tuhan” aliran baru ini juga tidak berkutik
beberapa hari kemudian di—seperti Messi—kandang tim sendiri; Santiago
Bernabeu. Ronaldo sempat menunjukkan “kebesarannya” saat membawa Real
“Franco” Madrid ini lead dua angka, satu penalti, satu hasil assist si
muka ngobat yang islami: Ozil.
Ironisnya, Mourinho seperti lupa akan kekuatan ras
Arya yang terkenal sejak kemampuan mental baja Adolf “Chaplin” Hitler di
Perang Dunia II yang mampu bertahan dari kepungan 3 negara super power
saat itu: Inggris, Amerika, dan Soviet selama lebih dari satu tahun.
Mental baja inilah yang mungkin diwariskan oleh
Jerman ke negara-negara tetangganya, termasuk Belanda. Mental yang sama
yang diwariskan Philip Lahm dkk ke rekannya si pria Belanda berkepala
professor, yang dengan tenang berhasil mengeksekusi tendangan dua belas
pas, menaklukkan Iker “Reflect” Cassilas dengan sempoa, eh, sempurna.
Skor 2-1 membuat agregat imbang tiga sama dan
pertandingan dilanjutkan sampai adu tos-tosan. Seolah yakin akan mampu
lolos ke final, mungkin juga karena ingin mengamalkan sila pertama dalam
Pancasila, Mourinho tanpa pikir panjang memberikan jatah eksekutor
pertama ke-“Ronaldo Yang Maha Esa”.
Yup, Ronaldo dengan awan kinton terbang mendatangi
Neur yang diam mematung di depan gawang sambil bertapa. Mungkin bagi
Neuer, inilah pertama kali dalam hidupnya ia melihat kera sakti pake
baju Madrid dengan awan kinton merk “Nike” mendatangi dirinya.
Ronaldo tenang meletakkan bola. Sedikit mengambil
ancang-ancang dan… “bam”. Bola mengarah ke sudut bawah kiri. Neuer tidak
melompat, ia hanya membuang diri ke kanan tanpa ancang-ancang, bola
seperti akan lewat di antara tubuh Neuer dan tanah, tapi; “mak-plak”
(“mak”-nya gak ada ding). Bola tertepis.
Tendangan seharga 93 juta Euro itu berhasil ditepis
dengan harga tidak sampai seperempatnya. Ya. Munchen mungkin surplus
luar biasa malam itu, tepisan Neur malam itu yang “hanya” 18 juta Euro
juga menggagalkan tendangan seharga 65 juta Euro milik Ricardo Kaka.
Secara matematis mungkin rumus kerugian Madrid seperti ini:
93 juta + 65 juta < Neuer
Tapi, apa ini cuma soal duit?
Oh, tentu tidak. Kekalahan Madrid ini lebih dalam
lagi. Bisa tergambar dari bentuk Mourinho yang bersimpuh tidak berdaya
ketika Ramos malah membuat clearence ketika ia harusnya menendang bola
ke arah gawang (mungkin kebawa karena baru magang jadi centre back malam
itu kali).
Pria yang dianggap angkuh, arogan, dan bermulut
besar sejak di FC Porto, Chelsea, dan Internazionale seperti Mourinho
bersimpuh di pinggir lapangan? Pemandangan luar biasa?
Tentu saja tidak.
Mourinho musim ini tidak sama seperti musim-musim
sebelumnya. Mourinho musim ini jadi lebih sopan, melankolis, pendiam,
ganjen, homo, eh sedikit humoris maksud saya.
Sikap Mourinho yang sekarang, tentu saja
mengherankan banyak pihak. Sisi rivalitas dengan Guardiola menjadi
sedikit ringan bobotnya karena Mou kini tidak mau lagi berada dalam
peran antagonis. Sekali-kali ia ingin gantian dengan Guardiola, mungkin
keduanya sama-sama bosan. Bisa jadi mereka ingin gantian dipuji dan
dibenci. Atau mungkin yang bosan UEFA sendiri atau bisa jadi benar-benar
keinginan “tuhan”?
Oke. Katakanlah ini memang bentuk hidayah Tuhan
kepada Mou agar dia tidak lagi bermulut besar, entah apa alasan Mou
memilih untuk seperti itu, tapi sikap ini berhasil mendapatkan hasilnya
ketika Madrid akhirnya berhasil mengalahkan Barcelona dan memimpin
klasemen di La Liga.
Tapi pertanyaannya, kenapa cara itu tidak juga berhasil ketika harus berada di zona Eropa?
Lagi-lagi Mou seperti lupa akan taktik
non-teknisnya dulu ketika awal menukangi Chelsea, ia pernah bicara bahwa
tim ada di atas segala-galanya, bahkan tim itu sendiri adalah “Tuhan”.
Ia rela berkorban demi tim (terutama untuk para pemainnya) dengan
menjadi sorotan media agar pemainnya bisa lebih berkonsentrasi di atas
lapangan. Cara ini berlanjut saat menukangi Internazionale dan tetap
dipertahankan sampai ke Madrid musim lalu.
Persoalannya, cara ini ternyata tidak mempan untuk
tim sebesar Madrid. Mau sebesar apapun reputasi Mourinho sebelumnya,
Real Madrid tetaplah Real Madrid. Klub terbaik abad 20, peraih Piala
Champions dan La Liga terbanyak, dan tim impian bagi seluruh pemain
bintang kelas satu di planet Bumi.
Sebesar apapun mulut Mourinho untuk menarik minat
media, tetap saja mulut Mou kurang lebar. Berbeda dari Chelsea yang
berkompetisi dengan cukup banyak lawan sebanding; MU, Liverpool, dan
Arsenal, yang menjadikan sorotan media ke pihak Chelsea tidak terlalu
banyak.
Masalah Mourinho di Madrid sedikit mirip seperti
saat ia menukangi Internazionale. Di Inter, Mou mendapati dirinya
terjebak pada taktik non-teknisnya sendiri. Mou dan Inter saat itu sama
sekali tidak punya lawan sebanding paska kasus calciopoli, jadi sudah
sewajarnya semua media menyorot ke Internazionale.
Di sinilah kemudian Mourinho sadar, bahwa ia tidak
bisa untuk melindungi para pemainnya lagi, karena di Italia, untuk
melindungi dirinya sendiri saja sudah susah sekali. Alhasil, sekuat
tenaga Mou memohon kepada Moratti untuk pergi. Pergi ke tim yang jauh
memiliki sorotan media jauh lebih besar lagi: REAL MADRID.
Awal berkiprah di Real Madrid, mulut Mou masih
sebesar biasanya. Dengan materi pemain kelas wahid, misi pertama Mou
sepertinya jelas: meruntuhkan dominasi Barcelona? Bukan.
Tidak sesederhana itu. Madrid ingin Mou menghancurkan tique-taqa Pep Guardiola!
Sepintas misi ini realistis, apalagi berkaca dari
keberhasilan Mou meloloskan Internazionale atas Barcelona di pentas Liga
Champions musim sebelumnya. Dengan pemain pas-pasan di Inter saja Mou
bisa, apalagi dengan pemain kelas wahid di Madrid. Namun di luar dugaan,
baru di pertemuan pertama, Madrid justru dicukur habis 0-5!
Tidak hanya itu, berkali-kali Madrid harus
menanggung malu ketika harus bertemu Barca. Hanya sekali Barca
“menghadiahi” Madrid untuk mengangkat gelar kelas dua, piala
satu-satunya musim lalu yang sayangnya malah dijatuhkan Ramos dari atas
atap bus ketika pawai (baca: Piala Raja).
Di musim pertama, Mou gerah melihat media Eropa
begitu adem ketika menyorot soal Messi dan Barcelona, tapi menjadi
begitu galak, keras, dan kritis ketika menyorot Ronaldo dan Madrid.
Lagi-lagi imbas dari mulut Mourinho juga, tapi ini tidak berlangsung
lama, dengan cepat Mou menyadari bahwa kebersamaan tim tidak bisa
dibangun hanya dengan menjadikan dirinya sebagai umpan media.
Mou sadar, ia hanya akan menjadi setitik tinta
untuk mengamankan para pemain besar Real Madrid dari sorotan media. Maka
sejak itu Mou menciptakan musuh bersama bagi pemain-pemain Madrid,
musuh ini bukan Lionel Messi dkk, tapi musuh itu bernama; ego.
Yup. Pemain-pemain Real Madrid adalah sekelompok
rekan kerja professional yang—bahkan—sampai memiliki kompetitor di dalam
tubuh tim sendiri, mereka saling bersaing untuk mendapatkan tempat
utama. Iklim tim seperti ini tentu berbanding terbalik dengan Barcelona.
Kebanyakan pemain Barca di tempa dalam kamp latihan
bersama sejak usia 7-10 tahun, ketika besar mereka menjadi sahabat,
saling mengenal satu sama lain secara personal, dan bermain seperti
menggunakan telepati. Ini bukan sesuatu yang bisa dilatih dalam tempo 1
atau 2 tahun.
Musuh Real Madrid sejatinya adalah kehebatan pemain
mereka sendiri yang harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan
tempat utama. Paradigma seperti ini akhirnya menguras cukup banyak
energi dan baik untuk beberapa pemain, tapi tidak untuk tim secara
keseluruhan.
Akhirnya Mourinho kembali ke dasar cara pandang sepakbola; tim adalah segalanya, tim adalah “Tuhan”!
Kaka akhirnya mulai diberi sedikit tempat, kadang
dimainkan bebarengan dengan Ozil kadang sendiri, Granero dan Lass Diara
juga tidak dilupakan, Benzema dan Higuain dimainkan bergantian, Jose
Callejon, Arbeloa, Sergio Concentrao, juga tidak luput.
Ironisnya, ketika Mourinho sempat mengalami
kemajuan pesat, Pep Guardiola malah mundur beberapa langkah. Tiki-taka
yang dulu menjadi rujukan bagi semua tim di dunia untuk bermain indah
dengan tingkat kekompakan yang tinggi, permainan sederhana
passing-gerak-passing-gerak, dan tahan bola selama mungkin.
Kesemuanya justru dirusak oleh “kartu as” permainan mereka sendiri; Lionel Messi.
Harus diakui, Messi itu semacam “tuhan” di tubuh
Barcelona. Filosofi tique-taqa sejatinya juga bicara mengenai beban
mental yang harus dibagi oleh 11 pemain, tapi ketika Messi sendirian
menjadi yang terbaik, sendirian yang mengubah keadaan, sendirian yang
menjadi penentu, maka beban ini tumpah ke pundak Messi dengan
sendirinya.
Ketika Barca kalah atau imbang, maka setiap orang akan berfikir: “Ada apa dengan Messi?”
Kepercayaan diri pemain Barca akhirnya tergantung
oleh satu pemain ini. Bahkan Pep Guardiola yang harusnya mampu membaca
hal ini dan mengantisipasinya, justru ikut larut dan mabuk oleh
kehebatan pemainnya sendiri. “Kami punya Messi,” adalah kata-kata
boomerang Guardiola sebelum bertemu dengan Chelsea.
Sialnya, Barca bertemu Chelsea yang sedang dalam
kondisi compang-camping karena adanya pergantian manajemen dan kekalahan
demi kekalahan di Liga, tapi kondisi “penuh derita” Chelsea menjadikan
mereka sebagai satu kesatuan tim. Lihat bagaimana hubungan Di Matteo
dengan para pemain senior; Drogba, Lampard, Terry, dan Petr Cech mereka
begitu kompak, saling bekerja sama, dan yang paling penting:
Menuhankan TIM!
Source : Ahmadkhadafi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar