Banyak orang yang bilang sepakbola adalah olahraga laki-laki, dan
bukan seorang laki-laki jika tak menyukai sepakbola. Bukankah itu aneh,
seorang laki-laki melihat 22 orang laki-laki yang berebut bola di
lapangan sambil teriak-teriak? Apakah itu jantan?
Kebetulan saya pernah mengirim pertanyaan via Twitter kepada @Sagnaofficial,
akun resmi Bacary Sagna. Entah kenapa saya ingin bertanya kepadanya.
Mungkin alam bawah sadar saya menganggap Sagna adalah pesepakbola
terjantan jika ditilik dari tatanan rambutnya. Tapi, sayang, sudah
setahun lebih tak dibalas pertanyaan saya itu.
Sial.
dari hal itu sepakbola sudah menjelma menjadi “agama” baru
di muka bumi ini. Sudah banyak “misionaris” yang menyabarkan “agama”
baru ini ke seluruh penjuru dunia. “Misionaris–misionaris” bermodal
gocekan dan tendangan inilah yang menyebarkan “agama” baru tersebut
dengan kecepatan ultrasonic, sehingga dalam waktu kurang dari satu abad “agama” ini sudah dianut oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini.
“Misionaris” pertama “agama” ini muncul pada tahun 50-an. Tersebutlah
Pele, seorang pria penganut Voodoo tapi murtad karena mendapat wahyu
untuk menyebarkan agama ini. Setelah Pele muncul “misionaris” dari
Belanda dengan nama Johan Cruyff.
Pria yang sebenarnya ingin menjadi penjajah ini harus mengurungkan
keinginanya karena dalam pembukaan UUD tahun 45 penjajahan harus
dihapuskan dari muka bumi. Akhirnya dia menjadi “misionaris” sepakbola
dan menjajah bangsa lain dengan angka magis, 14.
Kejadian hebat terjadi pada tahun 80-an dengan munculnya misionaris
revolusioner yang memiliki “tuhan” ditangannya, Diego Maradona. Sosok
ini menjelma menjadi pemimpin spiritual muda kharismatik yang paradoks.
Di satu sisi ia gemar melanglang buana ke berbagai prostitusi dan
mengoleksi senjata tajam.Di sisi lain ia adalah seorang “tuhan kecil”
dengan “umat” sekitar beberapa juta.
Namun, misionaris yang hanya satu kali mendapat kertas instruksi dari
pelatih selama berkarir ini harus bekerja keras karena bersaing dengan
beberapa misionaris lain di dunia saat itu. Di italia ada Paolo Rosi
yang berhasil menggabungkan teknik bermain bola dengan teknik membuat pizza.
Selanjutnya muncul Roberto Baggio, si Buddha yang juga berasal dari Caldogno, Italia ini menambahkan teknik topping rambut kepang diatas pizza bola. Di Prancis ada Michael Platini yang menggabungkan gaya berdakwah di lapangan dengan fashion. Itu belum jika kita menyebut trio “misionaris” asal Belanda, Basten, Gullit, Rijjkard.
Di akhir 90-an muncul misionaris yang sangat sederhana di Prancis,
Zinedine Zidane namanya. Saking sederhana dan iritnya dia sampai malas
beli tonik penyubur rambut dan membiarkan kepalanya botak setengah. Soal
rambut ini, ia berkomentar tatkala mengetahui Rooney melakukan
transplantasi rambut: “Dasar korban shampo Metal!”
Pada tahun 2000-an dunia digemparkan oleh kemunculan “misionaris”
terlalu tampan dengan anatomi gigi yang cukup futuristis. Dunia
memanggilnya Ronaldinho. Akan tetapi, “Misionaris” yang gocekannya
semaut goyangan pinggulnya ini hanya mampu menyebarkan “agama” hanya
sekitar 6 tahun.
Sekaran posisinya tergeser oleh “misionaris” muda bernama Messi. Di
belakang Messi masih menguntit beberapa “misionaris” yang mewakili
benuanya. Ada didier Drogba sebagai wakil Afrika—ia bersaing keras
dengan Gervinho—, lalu ada Syekh Ali Karimi dan Park Ji Sung sebagai
wakil Asia.
Seperti layaknya agama yang lazim di dunia ini, “agama” sepakbola
juga mempunyai mazhab. Di Brazil berkembang mazhab Jogo Bonito yang
merupakan sinkronisasi antara sepakbola, tarian Samba, peribadatan
Voodoo, dan sirkus. Di italia berkembang mazhab mafioso. Terbukti dengan
skandal Calciopoli, suap menyuap wasit dan kewajiban untuk melakoni
seni menjatuhkan diri dengan sengaja alias diving.
Sedangkan di Prancis, revolusi Prancis yang menyetarakan semua ras
berhasil mempengaruhi mazhab sepakbola disana. Dan mulai saat itu mulai
terjadi aksi impor pemimpin-pemimpin spiritual ke Prancis, seperti
Zinedine Zidane, Thiery Henry, Patrick Vieira, Christian Karembeu,
Lilian Thuram, dan yang paling mutakhir—ia muncul bebarengan dengan
lahirnya teknik seni rupa kontemporer, Surealis Magis—, Bacary Sagna.
Sedangkan Spanyol berbeda dengan Prancis. Mahzab “agama” sepakbola
disini memberlakukan sistem kasta. Samuel Eto’o (berasal dari kasta
terendah), pemimpin spiritual yang sangat berbakat dari tanah Roger
Milla ini gagal total di Castillan, tetapi berjaya di Catalan. Meski ia
tetap saja jadi bahan cemoohan dan menjadi penyebab naiknya harga pisang
di Spanyol.
Karena dirasa cukup menghadapi tekanan batiniyah, akhirnya pindah
haluan guna menyebarkan “agama” sepakbola ke kasta yang masih sedarah
dengannya, Ordo Primata (selain manusia) di Gembira Loka.
“Agama” sepakbola ini juga mempunyai ibadah wajib 4 tahun sekali
bernama “Marhaban ya World Cup”. Seluruh umat diharuskan berpuasa
menonton berita, sinetron, apalagi Jakarta Lawyer Club, dan lain-lain.
Semua fokus melakukan “ibadah” Piala Dunia selama sebulan penuh.
Maka benarlah sabda Tutankhamun semasa masih berseragam Swansea: “Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!”
Sayonara!
Source : Yoganoviantoro
1 komentar:
Saç Ekimi , Saç Ekim
Saya ingin Restorasi rambut. Saya mencari pusat transplantasi rambut.
Saç Ekimi Öncesi ve Sonrası
Posting Komentar