Tak jarang seseorang menemukan kejenuan dalam hidupnya, menemukan
kehampaan hati dari apa yang dijalaninya. Seakan ingin berhenti dan
keluar dari keadaan itu. Seakan tak ada kekuatan jiwa untuk terus berada
dalam keadaan itu. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin saja dia
belum mendapatkan apa yang diinginkannya, mungkin saja dia merasa bahwa
jalan itu memang bukan jalan yang diiginkannya, atau mungkin karena
impian yang menjadi penyemangatnya kabur dari pandangnya. Itulah
dinamika hidup. Terkadang ada yang berfikir untuk segera mengakhiri
hidupnya, na’udzubillah.
Dunia menjadi perhiasan dalam kehidupan kita. Tak kan selamanya dunia
menjadi milik kita. Mungkin sekarang kita umurnya remaja, tapi bentar
lagi udah dewasa, dan menjadi tua. Paras ganteng atau cantik kita akan
menghilang. Harta tahta tak pernah dibawa seseroang mati. Ke liang lahat
cuma berbusana kain kafan. Ingat itu. Orientasi keduniaan kita yang
menjadikan hati terasa hampa. Hampa, seakan hidup tak bermakna. Dan
ketika dunia menjadi orientasi hidup, tak pernah ada kepuasan yang
dirasakannya. Berarti, saatnya berinstrokpeksi diri terhadap apa yang
sudah dilakukan kemudian terus melangkah menuju istana kebahagiaan yang
hakiki.
Tak selamanya apa yang kita inginkan menjadi kenyataan. Itulah hidup.
Usaha maksimal yang telah kita lakukan terkadang tidak membuahkan
hasil. Itulah hidup. Lihatlah pengalaman untuk memahami hidup. Yang ada
adalah kenyataan saat ini. Inilah kenyataan. Jika apa yang kita inginkan
tidak menjadi sebuah kenyataan, setidaknya saat ini kita masih
bernafas, masih punya harapan, masih bisa berusaha, masih bisa mencapai
keinginan-keinginan lain. Kuncinya adalah sabar. ya, sabar. Toh, manusia
kan hanya bisa berusaha, manusia tak punya wewenang untuk menentukan
hasil. Yang terpenting adalah berproses. Ketika suatu keinginan belum
juga menjadi kenyataan, sikap kita yang sabar itu adalah proses. Ketika
kita mau menjalani proses, hasil pasti tidak akan jauh. Ingatlah, Tuhan
tak kan pernah menyia-nyiakan hambanya, Tuhan tak pernah tidak tahu.
Menjalani hidup memang tak semudah berpentas dipanggung sandiwara,
walaupun hidup seperti panggung sandiwara. Kita hidup terkadang tak bisa
menerima peran menjadi orang yang tak dianggap, orang yang terakhir,
orang yang miskin, dan lain-lain. Tapi itulah hidup. Butuh sikap “ntrimo
ing pandum” untuk terus bisa tersenyum tegar menjalani hidup. Apapun
kenyataan saat ini, tak ada alasan untuk galau, sedih, ngeluh dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar