Rabu, 30 Mei 2012

Tragedi Itu Bernama Sepakbola

Sepak bola adalah bukti bahwa manusia menyimpan kengerian fasis dalam dirinya masing-masing. Sebuah permainan yang awalnya lahir sebagai sebuah kesenangan berubah menjadi ajang pertempuran ala gladiator. Sepakbola menemunkan jalannya sendiri sebagai pemuas nafsu purba manusia atas dominasi.
 
Lihat berapa banyak manusia yang menjadi korban dari sepak bola. Di luar dan di dalam lapangan, sepak bola, menjadikan manusia mahluk a sosial yang memangsa manusia lain. Menumbuhkan sikap persaingan dan dominasi. Bukan lagi fair play dan kesenangan. Sepak bola adalah apa yang kita kini biasa kita sebut tragedi kemanusiaan.

Dalam sepak bola kemenangan tidak memiliki arti lain. Bukan lagi kesempatan bersosialisasi. Adu skil dan juga adu strategi. Semua lebur dalam kaca mata kepentingan kemenangan. Menang adalah saat satu tim mengalahkan tim lain dengan marjin angka yang lebar. Juga saat tim menghalalkan segala cara, termasuk bersekongkol dengan wasit, untuk mencapai kemenangan.

Seringkali para pendukung adalah sekumpulan umat yang buta. Mereka menutup mata saat timnya menang dengan cara yang kotor. Karena dalam lapangan. Sepak bola bukan lagi sebuah ajang adu kemampuan. Sepakbola telah menjadi coloseum dimana para gladiator bertanding untuk memuaskan keinginan kemenangan para pendukungnya. Ia telah luluh dalam segala yang kita namai agresivitas.

Semua pendukung Liverpool dan Juventus pasti tak akan pernah melupakan Tragedi Heysel yang terjadi pada 29 Mei 1985.  Di salah satu laga Piala Champions pendukung dari masing-masing tim saling menghina. Kebanggaan semu dan agresivitas pendukung hidup karena enggan idola mereka diclecehkan. Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai pendukung Liverpool masuk ke wilayah pendukung Juventus.

Namun bukannya pertumpahan darah karena baku pukul yang terjadi. Melainkan lemahnya dinding pembatas di salah satu sisi stadion tersebut. Menampung ribuan orang pada satu titik membuat penyangga dinding kehilangan kekuatan dan roboh. Harga untuk sebuah kebanggan semu dan taklid buta itu adalah nyawa dari 39 orang dan luka dari 600 orang lainnya.

Konon untuk mengenang kematian yang disebabkan ego itu. Sebuah puisi karya W. H Auden berjudul “Funeral Blues” dituliskan dalam sebuah plakat. Serta memorabilia berupa 39 lampu bersinar untuk setiap korban Heysel. Tugu peringatan ini didesain oleh seniman Perancis Patrick Remoux. Di sini sepakbola telah kehilangan maknanya sebagai sebuah rekreasi dan berganti menjadi arena jagal.

Sepakbola mengalami komodifikasi dari sebuah proses mengisi Leisure Time menjadi tuntutan untuk pemenuhan premordial  pride. Padalah dalam banyak narasi sepakbola adalah insureksi. Ia menjadi sarana perlawanan bagi yang liyan untuk melawan para tiran. Kisah para pejuang Basque dan Catalan, melawan despot Franco melalui madrid. Di lapangan bola tidak ada pemain yang bersih dari lumpur, termasuk juga para pemiliknya.

Semua diehard Barcelona pasti akan mengingat pertandingan melawan Real Madrid 1943. dimana saat itu mereka harus menyerah kalah dengan kedudukan 11-1. Semua karena perintah Franco yang merasa kalah karena pada laga semifinal semifinal sebelumnya di Copa del Generalisimo (kini disebut Copa del Rey) Barca menang 3-0. Franco tentu marah karena harus dikalahkan oleh tim yang dianggap ”pengganggu stabilitas Spanyol”.

Jelang pertandingan leg kedua, seorang pejabat intelejen keamanan Spanyol memperingatkan para pemain Catalan. Bahwa mereka masih bisa hidup dan bermain bola tidak lain karena sikap dermawan Franco. ”Maka tahu dirilah kalian,” kira kira seperti itu yang ingin dikatakan oleh Franco. Hasilnya? Tim Madrid memimpin 8-0 pada paruh pertama untuk  kemudian mempercundangi Barcelona dengan hasil 11-1 luka selama enam dekade itu masih belum lunas terbayar hingga saat ini.

Para penonton (atau katakan maniak bola) modern terlanjur disuguhi oleh permainan yang terukur, diprediksi, diramu dan diolah dengan teknologi dan pengetahuan modern. Tidak ada lagi kejutan dalam sepak bola. Karena semua telah diprediksi dan diukur melalui variabel-variabel bernama transfer, pelatih, modal dan juga wasit. Seringkali kita sudah terlanjur tutup mata pada hal-hal yang demikian.

Pendukung (atau fans) klub adalah sekumpulan naif yang tutup mata demi kemenangan. Mereka adalah para serigala yang haus gelar dan dominasi. Tidak ada lagi yang bernama kemenangan yang terhormat. Permainan yang baik. Atau pun proses yang total. Kemenangan adalah harga mutlak eksistensi seorang pemain dan seorang pelatih.

Gambaran sempurna para fans adalah umat Musa dibawah bukit Sinai seusai menyeberang dari Mesri. Sekumpulan mahluk manja yang ingin selalu dipuaskan, dimanjakan dan diberikan kemudahan. Menuntut para pemain, pelatih, dan pemilik klub untuk selalu menang. Selalu memperoleh gelar dan akhirnya selalu mendominasi.

Tuntutan akan kemenangan itulah yang akhirnya menyingkirkan para pecundang dari panggung dunia. Mereka sekedar menjadi remah dan penggembira dalam setiap laga. Menjadi sekedar ”pengisi agar sebuah liga tidak berisi tim pemenang yang itu-itu saja,”. Seolah menggenapi diktum George Orwell. Siapapun penguasa saat ini akan menguasai sejarah masa lampau dan masa depan.

Kita tentu masih ingat pemain kolombia yang harus meregang nyawa karena kalah pada sebuah pertandingan piala dunia. Dengan dingin Andreas Escobar dibunuh dengan keji karena mencetak gol bunuh diri yang membuat timnya kalah. Juga cerita dimana tim sepak bola Korea Utara harus turun menjadi buruh seusai menjadi bintang di pentas dunia.

Sepak bola kini diukur dari seberapa banyak tropi yang dimenangkan sebuah klub. Diukur dari seberapa banyak gelar yang ia menangkan dalam liga. Bukan lagi mengukur dari seberapa indahnya pertandingan yang digelar. Sebuah pertandingan yang buruk tetap akan menjadi legenda jika hal itu melahirkan pemenang.

Sebenarnya apa artinya menjadi seorang pendukung klub sepakbola? Kita menonton keindahan dalam pertandingan. Atau menuntut hasil kemenangan tanpa cela? Apakah sebuah gelar lebih penting dari totalitas bertanding di lapangan? Atau menjadi lebih hina karena dalam satu putaran musim klub tak memenangkan gelar apapun. Pelan-pelan pendukung telah menjadi seorang kanibal yang menuntut klubnya terus dominan.

Untuk itu nihilisme dalam sepakbola adalah sebuah keniscayaan. Sepakbola harus ditempatkan sebagai sebuah dagelan yang lakon, tokoh, gerak dan narasinya telah diprediksi. Mereka yang mempercayai masih ada ketulusan dalam lapangan adalah seorang yang benar-benar naif (atau tolol?). Dalam setiap pertandingan, pertaruhan merupakan efek apa boleh buat.

Mereka yang meyakini ada tuhan dilapangan adalah para manusia naif yang perlu ditampar untuk diberi kesadaran. Maradona menjadi tuhan karena ia menentukan kemenangan Argentina dengan insting dan kemampuannya sendiri. Ia bukan santo soleh yang selalu membaca doa novena setiap malam. Malah si jugador bola ini adalah Beelzebub si rakus narkotika.

Tuhan telah tamat nasibnya saat peluit babak pertama sebuah pertandingan bola dimulai. Di situ seorang mafia judi bisa mengatur irama pertandingan dengan todongan pistol. Seorang pemilik klub bisa menyogok dengan tumpukan uang untuk meengendalikan ritme pertandingan. Mereka yang masih meyakini sebuah pertandingan bebas dari kepentingan. Adalah sebenar-benarnya manusia naif yang perlu diberi petasan untuk bisa sadar.

Source : Amandhani

Tidak ada komentar: