Rabu, 30 Mei 2012

Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!

Banyak orang yang bilang sepakbola adalah olahraga laki-laki, dan bukan seorang laki-laki jika tak menyukai sepakbola. Bukankah itu aneh, seorang laki-laki melihat 22 orang laki-laki yang berebut bola di lapangan sambil teriak-teriak? Apakah itu jantan?

Kebetulan saya pernah mengirim pertanyaan via Twitter kepada @Sagnaofficial, akun resmi Bacary Sagna. Entah kenapa saya ingin bertanya kepadanya. Mungkin alam bawah sadar saya menganggap Sagna adalah pesepakbola terjantan jika ditilik dari tatanan rambutnya. Tapi, sayang, sudah setahun lebih tak dibalas pertanyaan saya itu.

Sial.

dari hal itu sepakbola sudah menjelma menjadi “agama” baru di muka bumi ini. Sudah banyak “misionaris” yang menyabarkan “agama” baru ini ke seluruh penjuru dunia. “Misionaris–misionaris” bermodal gocekan dan tendangan inilah yang menyebarkan “agama” baru tersebut dengan kecepatan ultrasonic, sehingga dalam waktu kurang dari satu abad “agama” ini sudah dianut oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini.

“Misionaris” pertama “agama” ini muncul pada tahun 50-an. Tersebutlah Pele, seorang pria penganut Voodoo tapi murtad karena mendapat wahyu untuk menyebarkan agama ini. Setelah Pele muncul “misionaris” dari Belanda dengan nama Johan Cruyff.

Pria yang sebenarnya ingin menjadi penjajah ini harus mengurungkan keinginanya karena dalam pembukaan UUD tahun 45 penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Akhirnya dia menjadi “misionaris” sepakbola dan menjajah bangsa lain dengan angka magis, 14.

Kejadian hebat terjadi pada tahun 80-an dengan munculnya misionaris revolusioner yang memiliki “tuhan” ditangannya, Diego Maradona. Sosok ini menjelma menjadi pemimpin spiritual muda kharismatik yang paradoks. Di satu sisi ia gemar melanglang buana ke berbagai prostitusi dan mengoleksi senjata tajam.Di sisi lain ia adalah seorang “tuhan kecil” dengan “umat” sekitar beberapa juta.

Namun, misionaris yang hanya satu kali mendapat kertas instruksi dari pelatih selama berkarir ini harus bekerja keras karena bersaing dengan beberapa misionaris lain di dunia saat itu. Di italia ada Paolo Rosi yang berhasil menggabungkan teknik bermain bola dengan teknik membuat pizza.

Selanjutnya muncul Roberto Baggio, si Buddha yang juga berasal dari Caldogno, Italia ini menambahkan teknik topping rambut kepang diatas pizza bola. Di Prancis ada Michael Platini yang menggabungkan gaya berdakwah di lapangan dengan fashion. Itu belum jika kita menyebut trio “misionaris” asal Belanda, Basten, Gullit, Rijjkard.

Di akhir 90-an muncul misionaris yang sangat sederhana di Prancis, Zinedine Zidane namanya. Saking sederhana dan iritnya dia sampai malas beli tonik penyubur rambut dan membiarkan kepalanya botak setengah. Soal rambut ini, ia berkomentar tatkala mengetahui Rooney melakukan transplantasi rambut: “Dasar korban shampo Metal!”

Pada tahun 2000-an dunia digemparkan oleh kemunculan “misionaris” terlalu tampan dengan anatomi gigi yang cukup futuristis. Dunia memanggilnya Ronaldinho. Akan tetapi, “Misionaris” yang gocekannya semaut goyangan pinggulnya ini hanya mampu menyebarkan “agama” hanya sekitar 6 tahun.

Sekaran posisinya tergeser oleh “misionaris” muda bernama Messi. Di belakang Messi masih menguntit beberapa “misionaris” yang mewakili benuanya. Ada didier Drogba sebagai wakil Afrika—ia bersaing keras dengan Gervinho—, lalu ada Syekh Ali Karimi dan Park Ji Sung sebagai wakil Asia.

Seperti layaknya agama yang lazim di dunia ini, “agama” sepakbola juga mempunyai mazhab. Di Brazil berkembang mazhab Jogo Bonito yang merupakan sinkronisasi antara sepakbola, tarian Samba, peribadatan Voodoo, dan sirkus. Di italia berkembang mazhab mafioso. Terbukti dengan skandal Calciopoli, suap menyuap wasit dan kewajiban untuk melakoni seni menjatuhkan diri dengan sengaja alias diving.

Sedangkan di Prancis, revolusi Prancis yang menyetarakan semua ras berhasil mempengaruhi mazhab sepakbola disana. Dan mulai saat itu mulai terjadi aksi impor pemimpin-pemimpin spiritual ke Prancis, seperti Zinedine Zidane, Thiery Henry, Patrick Vieira, Christian Karembeu, Lilian Thuram, dan yang paling mutakhir—ia muncul bebarengan dengan lahirnya teknik seni rupa kontemporer, Surealis Magis—, Bacary Sagna.

Sedangkan Spanyol berbeda dengan Prancis. Mahzab “agama” sepakbola disini memberlakukan sistem kasta. Samuel Eto’o (berasal dari kasta terendah), pemimpin spiritual yang sangat berbakat dari tanah Roger Milla ini gagal total di Castillan, tetapi berjaya di Catalan. Meski ia tetap saja jadi bahan cemoohan dan menjadi penyebab naiknya harga pisang di Spanyol.

Karena dirasa cukup menghadapi tekanan batiniyah, akhirnya pindah haluan guna menyebarkan “agama” sepakbola ke kasta yang masih sedarah dengannya, Ordo Primata (selain manusia) di Gembira Loka.
“Agama” sepakbola ini juga mempunyai ibadah wajib 4 tahun sekali bernama “Marhaban ya World Cup”. Seluruh umat diharuskan berpuasa menonton berita, sinetron, apalagi Jakarta Lawyer Club, dan lain-lain. Semua fokus melakukan “ibadah” Piala Dunia selama sebulan penuh.

Maka benarlah sabda Tutankhamun semasa masih berseragam Swansea: “Tiada ‘tuhan’ Selain Sepakbola!”

Sayonara!

Source : Yoganoviantoro

1 komentar:

Op Dr Ali Mezdeği mengatakan...

Saç Ekimi , Saç Ekim
Saya ingin Restorasi rambut. Saya mencari pusat transplantasi rambut.
Saç Ekimi Öncesi ve Sonrası