Minggu, 13 Mei 2012

La Curva Scirea Juventini Ultras

Kelompok superter sejati Juventus yang pertama muncul di pertengahan tahun 70-an. Saat itu ada dua kelompok tifosi sayap kiri dan organisasinya masih belum bagus. Dua kelompok itu adalah Venceromos dan Autonomia Bianconera. Lalu di tahun 1976 terbentuklah 2 kelompok suporter ultras sejati Juve, Fossa Dei Campioni dan Panthers. Baru setahun kemudian kelompok tifosi ultras yang legendaris berdiri, Fighters. Kelompok ini diprakarsai oleh Beppe Rossi. Beliau merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi seluruh tifosi Juve dan menjadi panutan para ultras muda di Turin.



Awal era 80-an kelompok-kelompok suporter baru bermunculan. Gioventu Bianconera, Area Bianconera, dan Indians adalah beberapa diantaranya. Dua kelompok ultras yang ekstrim juga berdiri di periode ini, Viking dan Nucleo Armato Bianconero (N.A.B). Dua kelompok ini benar-benar menjadi grup tifosi yang dihormati di dalam dan di luar Delle Alpi. Viking dan N.A.B adalah kelompok yang benar-benar mengingatkan orang pada kata hooligans. Itu dikarenakan mereka tidak pernah takut bertempur dengan supporter klub manapun di dalam atau di luar stadion. Tahun 1983 kelompok Juventini yang berbeda dibentuk untuk menjalani partai tandang pertama mereka ke Eropa (Liege, Belgia tahun 1983).

Tahun 1987 kelompok tifosi bersejarah Fighters akhirnya dibubarkan setelah berjaya selama 10 tahun. Penyebabnya saat itu karena terjadi banyak kekerasan dan perkelahian dalam partai tandang ke Florence, melawan rival Juve, Fiorentina. Sebagian besar anggota Fighters lama, bersama dengan anggota Indians dan Giuventu Bianconera, membentuk sebuah kelompok supporter ultras yang baru, Arancia Meccanica (Clockwork Orange). Nama ini terinspirasi oleh film Stanley Kubrick berjudul sama yang populer saat itu.



Nama itu menimbulkan kesan kekerasan dan negatif sehingga menimbulkan banyak masalah. Karena itu kelompok ini dipaksa untuk merubah nama kelompok mereka. Para fans sepakat untuk membodohi politisi kota Turin dengan merubah nama kelompok mereka menjadi Drughi. Drughi merupakan nama geng dimana tokoh utama film Clockwork Orange, Alex, bergabung. Lucunya, para politisi Turin terlambat menyadari hal ini. Drughi pun berkembang dan menjadi kelompok supporter terpenting dalam sejarah Juventus. Dalam kurun waktu antara 1988 sampai 1996 Drughi memiliki 10.000 anggota.

Pada tahun 1993 beberapa anggota Drughi memperoleh otonomi dan menghidupkan kembali kelompok tifosi lama, Fighters. Empat tahun setelahnya Fighters dan Drughi bersaing untuk menjadi yang terbaik di La Curva Scirea. Drughi menggantung banner mereka tepat di tengah La Curva Scirea Delle Alpi, sedangkan Fighters harus memasang banner mereka di sebelah kanannya.

Setelah Juve memenangkan Piala Champions atas Ajax tahun 1996, para supporter sangat bergembira dan memutuskan untuk berkolaborasi. Drughi, Fighters, dan beberapa kelompok kecil lainnya di La Curva Scirea memutuskan untuk bersama mendukung Juve dibawah satu nama, Black and White Fighters Gruppo Storico 1977. Nama Fighters pun memperoleh kembali kejayaan seperti awalnya tepat 20 tahun sejak kelompok supporter itu berdiri.


La Curva Nord



Di era 90-an satu lagi kelompok besar supporter terbentuk. Namanya Irriducibili Vallette. Kelompok ini mempunyai pengaruh besar di La Curva Nord Delle Alpi. Grup ini dibentuk pada 1990 oleh sebuah kelompok supporter dari Vallette Turin. Karena anggotanya banyak yang kena sanksi dan sulit bekerjasama dengan manajemen Juventus, Irriducibili dibubarkan pada akhir musim 2001/02.

Memulai musim 2002/03 direksi Juve memutuskan untuk memberikan La Curva Nord pada Centro Coordinamento Juventus Club. Ini adalah organisasi yang terdiri dari berbagai fans club resmi di Italia dan luar negeri. Lebih dari 1000 klub jumlahnya. Untuk itu manajemen bermaksud memindahkan semua kelompok ultras dari La Curva Nord, dan melarang mereka memasang banner di area itu. Proyek ini menjadi sebuah kegagalan besar bagi direksi Juventus.

La Curva Nord sekarang menjadi bagian paling sepi di Delle Alpi. Nyanyian supporter yang ada disana pun hampir tak terdengar. Tiadanya kelompok supporter yang memimpin di La Curva Nord adalah penyebabnya. Selama bertahun-tahun Juve memiliki dukungan luar biasa di dua curva yang siap mengumandangkan pujian bagi La Vecchia Signora. Merupakan hal yang langka di Italia maupun belahan dunia lainnya, dimana sebuah klub mempunyai dua basis tifosi yang berada di belakang dua gawang. Ini menciptakan atmosfer yang luar biasa bagi tim saat bertanding. Tifosi cemas akan apa yang akan terjadi kelak setelah stadion diperbarui. Apakah mereka masih bisa menempati dua curva itu atau manajemen Juventus akan meneruskan proyek gagalnya?

Irriducibili Valente sudah tidak ada lagi sejak tahun 2002. Tempat mereka sebelumnya ada di ujung lain, berhadapan dengan kelompok Fighters, yaitu di La Curva Nord. Terbentuk tahun 1990, mereka adalah kelompok supporter yang terorganisasi dengan rapi. Tahun 1998 mereka menggantikan Viking sebagai penguasa La Curva Nord. Masalah mulai timbul di awal musim 2001/02. Irriducibili mengkritik keras kepemimpinan Lippi dan hasil buruk yang diperagakan skuad Juventus awal musim itu. Akibatnya manajemen Juve menolak memberikan tiket away bagi mereka. Suasana pun semakin memanas.

Irriducibili kemudian berdamai dengan Lippi, namun masih menolak berbicara dengan klub atau vice versa. Setelah banyak masalah yang terjadi, Irriducibili Vallette pun dibubarkan. Sangat disayangkan karena mereka telah melakukan yang terbaik bagi Juventus. La Curva Nord sekarang bernama "Centro Juventus club, 1000 club per una curva". Itu berarti kurva utara akan ditempati oleh 1000 fans klub berbeda di dalamnya.

Irriducibili Vallette juga memberi perubahan besar bagi para pendukung Juve. Revolusi yang bertujuan untuk menjadikan atmosfer stadion menjadi lbih mendukung bagi Juventus. Mereka berambisi menjadi kelompok tifosi nomor satu di Italia. Banner Irriducibili selalu hadir dimanapun Juve bertanding. Simbol mereka adalah "tangan saling bergandengan mengelilingi dunia".


Kelompok ultras Lain


Noi Soli

Noi Soli dibentuk musim 2002/03 oleh mantan anggota kelompok ultras bersejarah, Viking dan N.A.B. Nama Noi Soli berasal dari tulisan di belakang scarf Viking N.A.B yang berarti "Hanya Kami" atau "Kami Sendiri". Kelompok ini dibentuk oleh 10 orang, dan selama 2002/03 Noi Soli menempatkan diri di La Curva Nord. Kelompok ini mengawalinya dengan keras dan beradu argumen dengan beberapa grup pecahan Irriducibili Valette saat partai Juventus vs Newcastle.

Setelah satu musim yang berat, Noi Soli terus pantang menyerah. memulai 2003/04 anggotanya telah bertambah menjadi 52 orang. Mereka diizinkan oleh Fighters untukmemasang banner mereka di lantai pertama La Curva Scirea, tepat di sebelah banner Nucleo. Hubungan dua klub supporter itu berlangsung baik. Noi Soli mempunyai jumlah pendukung yang lumayan banyak di setiap pertandingan Juve musim itu. Simbol mereka adalah Warrior, pejuang, yang merefleksikan mereka sebagai pejuang yang mengikuti Juventus. Noi Soli menyukai seragam Juve dan target mereka adalah mendapat citra yang bagus di seluruh Italia.

Viking



Kelompok bersejarah ini berdiri kembali dan kini mereka menjelajahi stadion-stadion Italia. Mayoritas mantan anggota kelompok supporter ini berreuni tahun 2003 dan sepakat untuk menghidupkan kembali grup ultras bersejarah ini. Anggotanya kini hampir sama seperti sebelumnya, kecuali empat pemimpinnya yang kini tak lagi menjadi bagian dari grup. Empat pemimpin itu bertengkar satu dengan lainnya karena masalah ekonomi dan merusak suasana grup. Meskipun banner Viking masih sama dengan yang lama, tetapi karena hubungan buruk dengan polisi dan klub, mereka cuma memasang banner di pertandingan away. Mereka dilarang menampilkannya di Delle Alpi. Viking mencoba menguasai kembali La Curva Nord, tapi klub dan polisi tidak mengizinkannya.

Kelompok superter terbesar, Fighters sempat mengundang mereka untuk bergabung ke La Curva Scirea agar kedua kelompok ini berhubungan baik dan bersama mendukung Juventus. Mantan pemimpin Viking kabarnya tidak suka menyadari kalau kini Viking bersahabat dengan rival mereka, Fighters. Namun jaman telah berubah. Viking tidak memiliki kekuatan dan anggota seperti ketika berjaya selama 10 tahun dahulu. Mereka bahkan harus berkolaborasi dengan kelompok-kelompok kecil lain untuk survive. Dulu mereka disegani baik oleh sesama supporter juve maupun supporter lawan, oleh klub maupun polisi. Irriducibili Vallette bisa menguasai La Curva Nord hanya setelah Viking pecah tahun 1998.

Viking terpecah karena masalah internal dan masalh karena banner curian. Vikin merupakan kelompok paling radikal, paling ditakuti, dan penuh muatan politis dalam sejarah Juventus. Kelompok ini didirikan oleh anak-anak muda dari Milano. Mereka lalu berkerjasama dengan N.A.B yang beranggotakan tifosi dari Pavia dan Genoa. Orang salah menyebut mereka Viking N.A.B ketika ada 10 orang anggota N.A.B bergabung dengan Viking. Namun anggota kelompok ini selamanya menyebut mereka sendiri Viking.

Source : Kaskus

Old Firm, Pengaruh Agama dan Politik pada Rivalitas Sepak Bola

Tidak ada yang lebih menarik saat berbicara mengenai sepakbola, agama, dan politik daripada Old Firm di Skotlandia. Old Firm adalah nama kolektif yang disandang oleh 2 klub besar Skotlandia, Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic. Kedua klub tersebut memiliki rivalitas dengan akar jauh di luar lapangan sepakbola. Apa itu? Agama dan politik. Basis pendukung Rangers adalah kaum protestan dan loyalis kepada kerajaan Inggris, sedangkan Celtic adalah Katolik dan Republikan.

Pada abad 19 banyak imigran Irlandia datang ke Glasgow dan pada masa itulah Rangers dan Celtic berdiri. Rangers berdiri pada tahun 1873 sedangkan Celtic tahun 1888.

Bendera Skotlandia dan Inggris jarang sekali ditemui di antara suporter Celtic. Mereka lebih memilih bendera 3 warna Irlandia. Sedangkan bendera Union Jack dan Skotlandia lebih sering diusung oleh para suporter Rangers.



Pada dasarnya, suporter Celtic tidak menganggap diri mereka orang Inggris atau Skotlandia, tapi orang Irlandia. Karena background sektarianisme itulah, Glasgow Celtic dianggap mendapat dukungan tak resmi dari pemberontak IRA di Irlandia Utara. Dukungan IRA itu nampak saat mereka mengancam akan membunuh Paul Gascoigne atau Gazza usai ia melakukan selebrasi gol yang provokatif. Kala bermain bagi Rangers, Gazza merayakan gol dengan meniru gerakan pemain suling ke arah suporter Celtic. Gerakan memainkan suling itu meniru gerakan pawai Orange Orders yang kerap disertai pemain suling. Orange Orders adalah organisasi Protestan loyalis yang didirikan usai Battle of Boyne,dimana kaum Protestan mengalahkan Katolik. Orange menjadi warna tak resmi kaum Protestan dan Rangers, diambil dari nama William of Orange yang menang Battle of Boyne.

Dahulu ada policy (peraturan) tak tertulis di Rangers bahwa pemain non Protestan tak diterima di klub tersebut. Kebijakan tersebut baru terpatahkan pada tahun 1989 saat Graeme Souness mengontrak Mo Johnston yang beragama Katolik.

Sedangkan Celtic tak punya kebijakan seperti itu. Bahkan Jock Stein sendiri adalah seorang Protestan. Jock Stein adalah manajer yang membawa Celtic menjadi klub Inggris Raya pertama yang menang Piala Champions tahun 1967. Karena agama, suporter Celtic sering menjuluki diri mereka Pope’s Army (Tentara Paus). Sedang suporter Rangers sering kali menimpali dengan chant-chant kasar seperti “Go back to your Vatican” dll.

Suporter Rangers sering kali menyanyikan lagu Billy Boys yang dianggap lagu kaum loyalis. Dalam lagu Billy Boys ada lirik, “We’re up to our knees in fenian blood, surrender or you’ll die”. Fenian adalah sebutan lain untuk orang Irlandia penganut Katolik Roma.

Pada tahun 1999, wakil Presiden Rangers Donald Findlay tertangkap kamera menyanyikan Billy Boys pada sebuah event. Karena tekanan dan teror yang diterimanya, Findlay mengundurkan diri tak lama kemudian.

Saat ‘satu menit hening’ tak lama seusai WTC 9/11, suporter Celtic menolak diam di stadion dan menyanyikan lagu-lagu IRA. Saat peringatan meninggalnya Ibu Suri Inggris dan hari Veteran Perang, suporter Celtic juga menolak diam & berteriak tak henti. Video suporter Celtic menyanyikan chant IRA bisa dilihat di sini http://www.youtube.com/watch?v=82MXTJrJtTY

Pada tahun 1980, suporter Celtic dan Rangers berkelahi di lapangan usai pertandingan yang dimenangi Celtic 1-0. Kerusuhan tahun 1980 itu adalah perkelahian suporter di lapangan paling parah yang pernah tercatat dalam sepakbola. Cuplikan kerusuhan suporter Celtic dan Rangers tahun 1980 bisa dilihat di sini http://www.youtube.com/watch?v=daEMvQsWys8



Kedua klub berusaha keras mengurangi aroma sektarianisme dengan meluncurkan kampanye anti kekerasan. Celtic meluncurkan Bhoys Against Bigotry, sedang Rangers mengadakan kampanye Follow with Pride.

Tingkat kekerasan non sepakbola di Glasgow selalu meningkat menjelang pertandingan kedua tim digelar. Tingkat hunian rumah sakit di Glasgow meningkat 9x lipat pada weekend pertandingan Old Firm Derby.

 Source : Kaskus

Ultras Dan Ideologi Politik

Kelompok ultra biasanya didasarkan pada kelompok inti (yang cenderung memiliki kontrol eksekutif seluruh kelompok), dengan subkelompok yang lebih kecil, persahabatan atau sikap politik. Ultras cenderung menggunakan berbagai gaya dan ukuran spanduk dan bendera dengan nama dan simbol-simbol kelompok. Beberapa kelompok ultra menjual barang dagangan mereka sendiri seperti syal, topi dan jaket. Budaya ultra adalah campuran dari beberapa gaya yang mendukung, seperti syal-melambai dan nyanyian.
Keempat poin inti dari mentalitas ultra adalah:

• tidak pernah berhenti bernyanyi selama pertandingan, tidak peduli apa hasilnya
• tidak pernah duduk selama pertandingan
• menghadiri Pertandingan sebanyak mungkin (Home dan away),
• Selalu Memempati Curva - curva kebanggaan Mereka.

Kelompok ultra biasanya memiliki perwakilan yang bisa menghubungkan mereka dengan pemilik klub, kedekatan kelompok Ultras dengan pemilik klub terutama mengenai tiket, alokasi kursi dan fasilitas penyimpanan. Beberapa Klub menyediakan tiket murah, Gudang untuk penyimpanan bendera dan spanduk, Dan akses awal masuk ke stadion sebelum pertandingan dimulai dalam rangka untuk mempersiapkan display atau koreografi.

Okey Kita langsung Masuk Ke Pokok Bahasan


Kelompok ultra kadang-kadang dikaitkan dengan politik, seperti rasisme, anti-rasisme, nasionalisme atau anti-kapitalisme. Selain itu, salah satu gerakan yang tumbuh dalam kelompok-kelompok ultra yang melampaui kiri-kanan tradisional politik adalah perlawanan terhadap komersialisasi sepak bola.
 
Berikut ini adalah Beberapa contoh Grub Ultras Yang Berhaluan Kiri {anti-fasis}

Livorno - Brigate Autonome Livornesi
NK Zagreb's - Bijeli anđeli
AC Arezzo's - Fossa, Pisa Calcio's Ultras
Olympique de Marseille - Curva Massilia
St.Pauli - Ultra Sankt Pauli
Celtic FC's - Green Brigade
Hapoel Tel Aviv - Hapoel Ultras
Atalanta - Bergamo's "Brigate Neroazzure
AEK Athena - Original 21
Sevilla FC - Biris Norte

Dikenal untuk menampilkan bendera dengan bintang merah, palu dan arit, lambang anarki, gambar Che Guevara atau berbagai anti-fasis.

Grub Ultras Yang Berhaluan Kanan {fasis}

Maccabi Tel Aviv's - Ultras Beitar Yerusalem Famillia
Lazio - Irriducibili
Inter - Boys San
Real Madrids - Ultras Sur
Hellas Verona - Brigate Gialloblu
Espanyol - Brigadas Blanquiazules
FC Steaua Bucureşt - Peluza Nord & Peluza Sud
FC Dinamo Bucuresti - PCH (Peluza Cătălin Hîldan)
Atletico Madrid - Frente Atletico

kelompok ultras Ini dikenal untuk menampilkan swastika dan rasis.

Ada Pula Berbagai macam Grub Yang dibuat Mempunya tujuan tertentu seperti kelas sosial, ideologi politik, agama, hingga etnis.

Contoh:
Herri Norte (ultras Athletic Bilbao) pro separatis Basque di Spanyol,
Legione Granata (ultras Rapid Bucharest) yang berjuang untuk kesetaraan kaum Gypsi di Rumania,
Tigris Mystic (ultras Paris Saint Germain) yang berhaluan sosialis dan berjuang untuk hak2 imigran Arab-Negro di Prancis.
Jungle Bhoys (casual Glasgow Celtic) yang pro pemberontak Katolik IRA di Irlandia Utara.

Source : Kaskus

Klasifikasi Penonton Sepakbola

1.Hooligan

Hooligan adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

2.Ultras

Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian 'di luar kebiasaan'. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion. Karakter mereka cenderung tempramental, tidak jauh seperti hooliga. Jika tim nya kalah bertanding atau diremehkan pihak musuh. Namun perbedaan mereka dengan hooligan terletak pada tujuan kehadiran mereka di stadion. Tujuan utama kehadiran mereka adalah untuk mendukung tim, bukan untuk menunjukan kekuatan lewat adu fisik. Anggota ultras biasanya merupakan anggota yang setia dan loyal terhadap tim yang mereka bela.

3.The VIP

Bagi mereka, yang penting bukan menonton sepakbola, melainkan supaya ditontong penonton lain. Sebagian besar penonton ini adalah kaum selebritas yang hadir diantara kerumunan orang selain itu pun mereka para pebisnis tingkat tinggi yang menyaksikan pertandingan di kotak VIP (skyboxes) demi sebuah gengsi untuk sebuah pencitraan diri. Merka tidak perduli dengan hasil pertandingan, kecuali itu akan mempengaruhi bisnis yang digelutinya.

4.Daddy/Mommy

Mereka adalah orang-orang yang suka membawa anggota keluarga ke dalam stadion. Bagi mereka menonton pertandingan sepakbola dalam sebuah stadion merupakan sebuah hiburan rekreasi keluarga. Oleh karena itu, biasanya tipe ini hadir ke stadion ketika tiket pertandingan tidak terlalu mahal seperti pada babak-babak penyisihan. Sebagian besar para Daddy/Mommy ini adalah karyawan yang bekerja secara profesional yang gemar terhadap sepakbola namun tidak terlalu fanatik. Letak duduk mereka di stadion pun biasanya jauh dari para hooligan dan ultras.

5.Pohon Natal

Pohon natal karena sekujur tubuh mereka dibenuhi berbagai atribut klub, mulai dari pin, badge, scraft, jersey, kupluk, topi, corat-coret wajah, beraneka ragam wig, sampai tato yang menghiasi tubuh mereka. Berbeda dengan ultras dan hooligan yang selalu laki-laki, christmas tree bisa laki-laki maupun perempuan, tampil sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka tak hanya menonton sepakbola tetepi juga berusaha menunjukan identitas negara atau kelompok mereka. Mereka biasanya duduk berkelompok di areal yang jauh dari hooligan dan ultras.

6.The Expert

Sebagian besar adalah para pensiunan yang telah berumur. Meraka tak sayang menggunakan uang pensiunannya untuk bertaruh. Tak heran wajah mereka selalu bertaruh. Tak jarang pula mereka meneguk berbotol-botol minuman karena saking tegangnya. Namun 'para ahli' pertaruhan ini biasanya hanya tertarik pada pertandingan sekelas World Cup dan UEFA cup, bukan pada pertandingan liga. Letak duduk mereka biasanya selalu dekat gawang untuk memudahkan mereka berteriak bak seorang pelatih.

7.Couch Potato

Mungkin inilah kelompok terbesar dari fans sepakbola. Mereka ini tipe penonton yang tidak hadir langsung ke stadion namun melalui pesawat TV di rumah. Tipe ini berasumsi bahwa menonton melalui TV lebih nyaman daripada membuang uang untuk sebuah pertandingan yang belum tentu bagus. Akan tetapi jangan salah, meskipun hanya menonton di depan TV, mereka juga berdandan seolah-olah berada di dalam lapangan. Kaos tim, bendera dan segera macam atribut lainnya.
So, dimanakah posisi anda berada?

Source : Kaskus

Sejarah Hooligan


Konon, dalam dunia sepak bola tidak dikenal latar belakang sosial. Di dalam sepak bola hanya ada satu agama, budaya, suku, dan ras. Akan tetapi, tidak selamanya sepak bola berhasil menyatukan para penggemarnya. Fanatisme berlebihan yang ditunjukkan para suporternya membuat wajah sepak bola menjadi garang dan sangat mengerikan. Dari fanatisme kemudian lahir bibit-bibit hooligan, yaitu manusia-manusia agresif dan brutal bila tim kesayangan yang digadang-gadang untuk menang menjadi pecundang.

Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis.

Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan dilabrak.

Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadion, juga menyulut banalisme di luar stadion.

Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan sepak bola dan suporternya? Sejak kapankah hooligan muncul dalam dunia sepak bola? Buku The Land of Hooligans ini secara lugas mengisahkan sejarah para perusuh sepak bola di berbagai negara. Penulis juga berusaha mengurai variabel sosial yang melingkari seluk-beluk hooliganisme.

Ini hanya satu di antara puluhan buku, atau bahkan ratusan buku, yang pernah ditulis mengenai kekerasan suporter sepak bola. Tapi, buku ini punya keistimewaan sebab mencatat kronik sejarah secara detail dan mengungkap sisi-sisi terdalam yang tidak pernah ditulis sebelumnya.

Source : Bolavaganza

Casual Style Hooligan

 



PENDAHULUAN

The Casual Subkultur merupakan sub bagian dari budaya asosiasi sepak bola yang ditandai oleh hooliganisme sepak bola dan mengenakan pakaian desainer mahal Eropa. Subkultur berasal di Inggris pada akhir 1970-an ketika banyak hooligan mulai memakai label desainer dan olahraga mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak memakai warna klub, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok saingan dan untuk masuk ke pub.

Genre musik populer di kalangan pekerja lepas di akhir 1970-an mencakup: kebangkitan kembali mod, postpunk, Oi! dan ska. Pada 1980-an, selera musik pakaian sederhana yang eklektik, dengan beberapa kelompok pop menikmati seperti Wham!, ABC, The Human League, Spandau Ballet dan Adam Ant. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, banyak pekerja lepas bagian dari Madchester dan pujian adegan, dan pada 1990-an, banyak penggemar Britpop adalah sebuah crossover yang kuat dengan budaya rave, dengan banyak raver sepak bola memakai merek santai tapi menjauhkan dari hooliganisme sepakbola Madchester band kadang-kadang memakai pakaian kasual di panggung dan dalam foto publisitas, seperti yang dilakukan Britpop Blur seperti dalam video mereka untuk "Parklife ". Sejak itu, genre paling populer di kalangan pekerja lepas telah indie rock.

SEJARAH

Pendukung sepakbola Inggris telah memiliki unsur subkultur fashion yang dipimpin kuat sejak munculnya Teddy Boys pada 1950-an pertengahan. Hal ini dilanjutkan dengan mods tahun 1960-an awal, skinhead dari akhir 1960-an kemudian, dan revivalis mod dari akhir 1970-an.

Subkultur santai dimulai pada akhir 1970-an setelah Liverpool FC penggemar memperkenalkan sisa Inggris untuk mode Eropa bahwa mereka diperoleh saat mengikuti Liverpool di Piala Eropa 1977 triwulan mereka final melawan Perancis St Etienne. Liverpool fans ini tiba kembali di Inggris dengan olahraga desainer mahal Italia dan Perancis, yang sebagian besar mereka dijarah dari toko-toko. Para fans membawa kembali banyak merek pakaian unik yang tidak pernah terlihat di negara ini sebelum. Segera penggemar lain berteriak-teriak untuk barang-barang langka dari pakaian, seperti Sergio Tacchini Lacoste atau kemeja, dan tidak biasa Adidas pelatih, yang masih berhubungan dengan pendukung Liverpool saat ini. Pada saat itu, banyak polisi masih pada mencari fans skinhead memakai sepatu Dr Martens.

label pakaian yang dipakai sangat sederhana pada tahun 1980 meliputi: Pringle, Burberry, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas Originals, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa , Storm Peter, Reebok dan Slazenger. tren Fashion sering berubah, dan subkultur santai mencapai puncaknya pada akhir 1980-an.

1990-an dan 2000-an

Pada pertengahan 1990-an, subkultur kasual mengalami kebangkitan, tapi lebih ke penekanan pada gaya telah berubah sedikit. Banyak penggemar sepak bola mengadopsi tampilan kasual sebagai semacam kostum, mengidentifikasi mereka sebagai berbeda dari para pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum dan Burberry terlihat di hampir setiap klub, serta gaya klasik favorit seperti Lacoste dan Paul & Shark. Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek yang dianggap kostum kasual, karena cukup mengecoh perhatian polisi bahwa gaya santai seperti itu.

Casual fashion mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, dengan musik Inggris bertindak seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual dalam video musik mereka. Budaya Casual telah disorot oleh film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Football Factory dan Green Street. Meskipun beberapa pakaian sederhana terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, dengan ciri khas logo kompas. Label pakaian lainnya yang terkait dengan pakaian kasual di tahun 2000-an : Barbour, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Henri Lloyd, CP Company, Lambretta, One True Saxon, Fake London Genius, Ralph Lauren, Lacoste, Prada, Façonnable , 6876, Hugo Boss, Maharishi dan Bebek Mandarina Duck.

Source : Bolavaganza 

Football is Freedom

“Sepakbola adalah keseluruhan skill itu sendiri. Keseluruhan dunia. Keseluruhan alam semesta itu sendiri. Saya menyukai sepakbola karena Anda harus piawai untuk memainkannya! Kebebasan! Ya, sepakbola adalah kebebasan.” Bob Marley – 1979




Banyak orang pasti terkejut saat mengetahui Bob Marley adalah seorang fan sekaligus fanatik sepakbola. Sepertinya hal itu tak sesuai dengan citra sang bintang reggae legendaris yang selama ini telah beredar: menghisap marihuana (daun ganja), alunan nada reggae yang lambat, sikap hidup rastafari yang easy going, serta aktivis politik.

Ya, raja reggae berambut gimbal itu benar-benar cinta sepakbola. Bahkan tiap hari saat tur atau melakukan rekaman di studia, Bob Marley selalu menyempatkan diri menendang-nendang si kulit bundar. Dia pun gemar menonton sepakbola di televisi. Klub favoritnya dari Brasil yakni Santos Futebol Clube. Bob Marley mengidolakan pesepakbola, Edson Arantes do Nascimento atau yang lebih dikenal sebagai Pele, yang mulai bermain bagi Santos di usia 15 tahun.

Dalam sebuah perjalanan ke Brasil (Rio de Janeiro, 1970), Bob Marley bermain sepakbola jalanan bersama beberapa rekan musisi (musisi dari perusahaan rekaman Ariola), beberapa anak jalanan di Brasil, plus Paulo Cesar, anggota timnas Brasil di Piala Dunia 1970.

Sebelum pertandingan, Paulo Cesar memberi Marley kostum tim Santos bernomor punggung 10 (nomor khas Pele). Sang raja reggae tesenyum menerima cendera mata tersebut dan mengenakannya. Rekan-rekannya menyanjung Marley yang disebut mirip dengan Pele. Ya, faktanya penyanyi gimbal punya skill individu mumpuni di lapangan hijau. Hebatnya lagi, Marley mampu bermain di semua posisi. Namun posisi favoritnya adalah jadi gelandang.

Banyak sobatnya yang mengklaim, jika raja reggae itu tidak mendedikasikan hidupnya bagi musik, maka Bob Marley bisa menjadi seorang pesepakbola pro. Ya, sebagai seorang gelandang, Marley punya kecepatan, skill yahud, serta kreatif  sebagai otak serangan.

“Saya cinta musik sebelum  mencintai sepakbola. Jika saya lebih dulu cinta sepakbola, mungkin itu bisa sedikit berbahaya, karena sepakbola merupakan permainan kekerasan. Bila seseorang menekel Anda dengan keras, itu dapat memunculkan semangat perang,” cetus Bob Marley suatu ketika.

Bob Marley suka bermain bola di taman-taman di kota London. Sebagai contoh, tahun 1977, saat di tengah puncak ketenarannya, dia menyempatkan diri bermain sepakbola di Battersea Park bersama teman-temannya. Ini bukan sekadar cara mengisi waktu luang di luar tur, Marley memang niat main bola.

Bahkan ia membawa bintang sepakbola Jamaika di masa itu, Skill Cole, dalam rombongannya. “Skill adalah penasihat Bob untuk olahraga,” cerita Rob Partridge, mantan humas perusahaan rekaman Island Records.
“Dia gelandang berskill paten serta sanggup bermain konstan sepanjang 2×45 menit. Namun ia tak suka melakukan tekel terhadap lawan. Oh ya, di lapangan bola, ia dijuluki skully karena tubuhnya yang kurus. Tapi jangan coba-coba menekel Bob, Anda sendiri bakal celaka. Dia punya tulang kaki seperti besi,” tambah Partridge.

Tahun 1980, Bob Marley datang ke London. Tak ada tur atau sesi wawancara, dia dan rombongannya, The Wailers, cuma ingin bermain bola. So, Partridge sengaja menyewa lapangan di Eternit Wharf Sports Centre, Fulham. Tiap sore selama empat hari berturut-turut, Bob dan grup musiknya, The Wailers, mengadakan pertandingan bola dengan tim manapun yang menantang mereka bertanding.

“Kami membawa Bob dan pemain The Wailers ke toko olahraga di Fulham Palace Road untuk membeli bola, sepatu, serta kostum untuk bertanding,” ujar Partridge. “Para penjaga toko tidak mengenali artis ngetop yang menyambangi toko mereka.”
Lantas selama empat hari, Marley dan The Wailers bermain solid menghadapi tim Record Mirror, tim Ice Record, dan beberapa tim lainya. “Itu bukan sebuah pertandingan formal, pokoknya bermain bola sampai puas,” jelas Partridge.

Seminggu kemudian, Marley mengadakan konser di Crystal Palace. Ini konser terakhir  Bob Marley di London karena pada Mei 1981, dia meninggal dunia. “Setelah show, ia masih menyempatkan diri bermain dengan empat orang rekannya di sepanjang hall kolam renang di Cannon Health Clubs. Lantas kami memanggil mereka untuk memperkenalkan a late-night reggae swim untuk menghormati Bob. Mereka pikir itu ide yang bagus,” ungkap Partridge.

Saat Bob Marley meninggal dunia, ada banyak fan yakin bahwa kematiannya akibat kanker yang diidapnya setelah mengalami cedera ketika bermain bola di Battersea Park di tahun 1977. Danny Baker, seorang komentator olahraga di radio dan televisi Inggris pada masa itu, jadi tersangka yang menginjak kaki Marley saat pertandingan tersebut. Akibatnya, kuku jempol kaki Marley sampai copot hingga menyebabkan luka.

Entah karena tak segera mendapat perawatan yang layak atau karena sikap tak pedulinya, luka tersebut malah jadi borok yang tak kunjung sembuh dan menjadi kanker ganas. Dokter telah menganjurkan untuk mengamputasi kakinya agar selamat, tapi sang Rasta menolak tegas anjuran tersebut.

So, tepat 11 Mei 1981, di Florida, AS, Bob Marley menghembuskan nafas terakhir dan menghadap Sang Maha Pencipta. Dia dikuburkan bersama gitar kesayangannya, Gibson Les Paul, sebungkus daun ganja, sebuah Alkitab, sebuah cincin, dan sebuah bola kaki.

Source : Bolavaganza