Rabu, 30 Mei 2012

Men-“Tuhan”-kan Tim!

“Kalau sampai Messi double hattrick, aku gundulin ini kepala!”

Untung benar kawan saya ini. Rambut keritingnya akhirnya selamat, Messi “hanya” mencetak 5 gol ketika Barcelona menjamu Bayern Leverkusen malam itu.

Hanya?

Oh, Oke. Mungkin banyak pemain yang pernah mencetak 4 gol dalam satu pertadingan Liga Champions, tapi untuk malam itu, ini pertama kalinya dalam hidup saya melihat ada pemain bisa mencetak lima gol dalam satu pertandingan.

Mungkin “Tuhan” Maradona dan “Tuhan” Pele pernah melakukannya—mungkin tidak hanya pernah—tapi sering. Tapi tetap saja, apa yang dilakukan Messi pada 7 Maret lalu itu sungguh luar biasa, mengingat kompleksitas taktik dan fisik pemain sepakbola jaman sekarang jauh lebih tinggi levelnya dari era di mana “Dua Tuhan” itu masih aktif bermain.

Akan tetapi, kebesaran “The Little God” akhirnya punya batas juga musim ini. Kita memang masih melihat gerakan berhenti-berlari yang sukses bikin linu kaki, manuver “banting stir” yang sukses bikin bek-bek terpeleset, atau keputusan super cepat untuk men-drible, menendang, atau mengumpan yang bikin komentator BBC bingung berkomentar dan menutupi kebisuan itu dengan tawa basi: “ha-ha-ha!”

Messi tetap hebat, tapi di kedua semifinal melawan Chelsea malam itu, Barca tidak menang, dan memang Barca tidak layak menang.

Drama Messi ini ditutup oleh gol tak terduga Fernando Torres. Seorang pemain yang dianggap sudah habis sejak satu setengah musim yang lalu. Lionel Messi tertunduk, malam itu Barca takluk. Kalau saja Di Matteo pernah melihat acara Demian di Trans 7, pasti dia akan berlari mendatangi kamera dan bilang: “Sempoa…”.

Beberapa hari sebelumnya di tempat yang sama, Nou Camp, derita yang sama diciptakan oleh seorang pria yang dianggap sebagai manusia termahal di planet bumi saat ini. Mendapatkan umpan diagonal mendatar dari trequartista kelas dunia pertama Turki tapi memperkuat Timnas Jerman, Mesut Ozil, si metrominiseksual, eh, metroseksual Portugal berhasil mengejar umpan Ozil secepat kilat, disambar, dua sentuhan Valdes terlewat dan “plung”; masuk. 2-1 untuk Madrid.

Ronaldo segera berlari tenang ke ujung lapangan sambil memberi aba-aba ke semua penonton agar mereka segera duduk kembali di kursinya masing-masing dan tenang sejenak karena pertunjukkan yang sebenarnya baru saja dimulai.

Ya, pria ini berhasil membuat seluruh anggota DPR di gelanggang gedung “pemerintahan” bangsa Catalonia ini tidak bisa menahan diri untuk tidak mengacungkan jari tengahnya.

Ronaldo lagi, Ronaldo lagi. Yup, nama itulah yang banyak tersaji di headline surat kabar di Eropa keesokan harinya. Kepopuleran nama itu membuat saya tidak perlu memberi deskripsi lagi tentang robot super pemain sepakbola ini.

Toh akan sia-sia juga nantinya deskripsi saya. Ibarat program komputer yang hanya diinstal perintah; “cetak gol sebanyak mungkin!” maka Ronaldo secara otomatis akan memprosesnya dengan caranya sendiri. Jadi data di mana jumlah golnya yang melebihi jumlah rataan Ronaldo bermain musim ini kiranya cukuplah untuk menggambarkan se-“Tuhan” apa sih Ronaldo itu.

Tapi “Tuhan” aliran baru ini juga tidak berkutik beberapa hari kemudian di—seperti Messi—kandang tim sendiri; Santiago Bernabeu. Ronaldo sempat menunjukkan “kebesarannya” saat membawa Real “Franco” Madrid ini lead dua angka, satu penalti, satu hasil assist si muka ngobat yang islami: Ozil.

Ironisnya, Mourinho seperti lupa akan kekuatan ras Arya yang terkenal sejak kemampuan mental baja Adolf “Chaplin” Hitler di Perang Dunia II yang mampu bertahan dari kepungan 3 negara super power saat itu: Inggris, Amerika, dan Soviet selama lebih dari satu tahun.

Mental baja inilah yang mungkin diwariskan oleh Jerman ke negara-negara tetangganya, termasuk Belanda. Mental yang sama yang diwariskan Philip Lahm dkk ke rekannya si pria Belanda berkepala professor, yang dengan tenang berhasil mengeksekusi tendangan dua belas pas, menaklukkan Iker “Reflect” Cassilas dengan sempoa, eh, sempurna.

Skor 2-1 membuat agregat imbang tiga sama dan pertandingan dilanjutkan sampai adu tos-tosan. Seolah yakin akan mampu lolos ke final, mungkin juga karena ingin mengamalkan sila pertama dalam Pancasila, Mourinho tanpa pikir panjang memberikan jatah eksekutor pertama ke-“Ronaldo Yang Maha Esa”.

Yup, Ronaldo dengan awan kinton terbang mendatangi Neur yang diam mematung di depan gawang sambil bertapa. Mungkin bagi Neuer, inilah pertama kali dalam hidupnya ia melihat kera sakti pake baju Madrid dengan awan kinton merk “Nike” mendatangi dirinya.
Ronaldo tenang meletakkan bola. Sedikit mengambil ancang-ancang dan… “bam”. Bola mengarah ke sudut bawah kiri. Neuer tidak melompat, ia hanya membuang diri ke kanan tanpa ancang-ancang, bola seperti akan lewat di antara tubuh Neuer dan tanah, tapi; “mak-plak” (“mak”-nya gak ada ding). Bola tertepis.

Tendangan seharga 93 juta Euro itu berhasil ditepis dengan harga tidak sampai seperempatnya. Ya. Munchen mungkin surplus luar biasa malam itu, tepisan Neur malam itu yang “hanya” 18 juta Euro juga menggagalkan tendangan seharga 65 juta Euro milik Ricardo Kaka.

Secara matematis mungkin rumus kerugian Madrid seperti ini:

93 juta + 65 juta < Neuer

Tapi, apa ini cuma soal duit?

Oh, tentu tidak. Kekalahan Madrid ini lebih dalam lagi. Bisa tergambar dari bentuk Mourinho yang bersimpuh tidak berdaya ketika Ramos malah membuat clearence ketika ia harusnya menendang bola ke arah gawang (mungkin kebawa karena baru magang jadi centre back malam itu kali).

Pria yang dianggap angkuh, arogan, dan bermulut besar sejak  di FC Porto, Chelsea, dan Internazionale seperti Mourinho bersimpuh di pinggir lapangan? Pemandangan luar biasa?

Tentu saja tidak.

Mourinho musim ini tidak sama seperti musim-musim sebelumnya. Mourinho musim ini jadi lebih sopan, melankolis, pendiam, ganjen, homo, eh sedikit humoris maksud saya.

Sikap Mourinho yang sekarang, tentu saja mengherankan banyak pihak. Sisi rivalitas dengan Guardiola menjadi sedikit ringan bobotnya karena Mou kini tidak mau lagi berada dalam peran antagonis. Sekali-kali ia ingin gantian dengan Guardiola, mungkin keduanya sama-sama bosan. Bisa jadi mereka ingin gantian dipuji dan dibenci. Atau mungkin yang bosan UEFA sendiri atau bisa jadi benar-benar keinginan “tuhan”?

Oke. Katakanlah ini memang bentuk hidayah Tuhan kepada Mou agar dia tidak lagi bermulut besar, entah apa alasan Mou memilih untuk seperti itu, tapi sikap ini berhasil mendapatkan hasilnya ketika Madrid akhirnya berhasil mengalahkan Barcelona dan memimpin klasemen di La Liga.

Tapi pertanyaannya, kenapa cara itu tidak juga berhasil ketika harus berada di zona Eropa?

Lagi-lagi Mou seperti lupa akan taktik non-teknisnya dulu ketika awal menukangi Chelsea, ia pernah bicara bahwa tim ada di atas segala-galanya, bahkan tim itu sendiri adalah “Tuhan”. Ia rela berkorban demi tim (terutama untuk para pemainnya) dengan menjadi sorotan media agar pemainnya bisa lebih berkonsentrasi di atas lapangan. Cara ini berlanjut saat menukangi Internazionale dan tetap dipertahankan sampai ke Madrid musim lalu.

Persoalannya, cara ini ternyata tidak mempan untuk tim sebesar Madrid. Mau sebesar apapun reputasi Mourinho sebelumnya, Real Madrid tetaplah Real Madrid. Klub terbaik abad 20, peraih Piala Champions dan La Liga terbanyak, dan tim impian bagi seluruh pemain bintang kelas satu di planet Bumi.
Sebesar apapun mulut Mourinho untuk menarik minat media, tetap saja mulut Mou kurang lebar. Berbeda dari Chelsea yang berkompetisi dengan cukup banyak lawan sebanding; MU, Liverpool, dan Arsenal, yang menjadikan sorotan media ke pihak Chelsea tidak terlalu banyak.

Masalah Mourinho di Madrid sedikit mirip seperti saat ia menukangi Internazionale. Di Inter, Mou mendapati dirinya terjebak pada taktik non-teknisnya sendiri. Mou dan Inter saat itu sama sekali tidak punya lawan sebanding paska kasus calciopoli, jadi sudah sewajarnya semua media menyorot ke Internazionale.

Di sinilah kemudian Mourinho sadar, bahwa ia tidak bisa untuk melindungi para pemainnya lagi, karena di Italia, untuk melindungi dirinya sendiri saja sudah susah sekali. Alhasil, sekuat tenaga Mou memohon kepada Moratti untuk pergi. Pergi ke tim yang jauh memiliki sorotan media jauh lebih besar lagi: REAL MADRID.

Awal berkiprah di Real Madrid, mulut Mou masih sebesar biasanya. Dengan materi pemain kelas wahid, misi pertama Mou sepertinya jelas: meruntuhkan dominasi Barcelona? Bukan.

Tidak sesederhana itu. Madrid ingin Mou menghancurkan tique-taqa Pep Guardiola!

Sepintas misi ini realistis, apalagi berkaca dari keberhasilan Mou meloloskan Internazionale atas Barcelona di pentas Liga Champions musim sebelumnya. Dengan pemain pas-pasan di Inter saja Mou bisa, apalagi dengan pemain kelas wahid di Madrid. Namun di luar dugaan, baru di pertemuan pertama, Madrid justru dicukur habis 0-5!

Tidak hanya itu, berkali-kali Madrid harus menanggung malu ketika harus bertemu Barca. Hanya sekali Barca “menghadiahi” Madrid untuk mengangkat gelar kelas dua, piala satu-satunya musim lalu yang sayangnya malah dijatuhkan Ramos dari atas atap bus ketika pawai (baca: Piala Raja).

Di musim pertama, Mou gerah melihat media Eropa begitu adem ketika menyorot soal Messi dan Barcelona, tapi menjadi begitu galak, keras, dan kritis ketika menyorot Ronaldo dan Madrid. Lagi-lagi imbas dari mulut Mourinho juga, tapi ini tidak berlangsung lama, dengan cepat Mou menyadari bahwa kebersamaan tim tidak bisa dibangun hanya dengan menjadikan dirinya sebagai umpan media.

Mou sadar, ia hanya akan menjadi setitik tinta untuk mengamankan para pemain besar Real Madrid dari sorotan media. Maka sejak itu Mou menciptakan musuh bersama bagi pemain-pemain Madrid, musuh ini bukan Lionel Messi dkk, tapi musuh itu bernama; ego.

Yup. Pemain-pemain Real Madrid adalah sekelompok rekan kerja professional yang—bahkan—sampai memiliki kompetitor di dalam tubuh tim sendiri, mereka saling bersaing untuk mendapatkan tempat utama. Iklim tim seperti ini tentu berbanding terbalik dengan Barcelona.

Kebanyakan pemain Barca di tempa dalam kamp latihan bersama sejak usia 7-10 tahun, ketika besar mereka menjadi sahabat, saling mengenal satu sama lain secara personal, dan bermain seperti menggunakan telepati. Ini bukan sesuatu yang bisa dilatih dalam tempo 1 atau 2 tahun.

Musuh Real Madrid sejatinya adalah kehebatan pemain mereka sendiri yang harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan tempat utama. Paradigma seperti ini akhirnya menguras cukup banyak energi dan baik untuk beberapa pemain, tapi tidak untuk tim secara keseluruhan.

Akhirnya Mourinho kembali ke dasar cara pandang sepakbola; tim adalah segalanya, tim adalah “Tuhan”!
Kaka akhirnya mulai diberi sedikit tempat, kadang dimainkan bebarengan dengan Ozil kadang sendiri, Granero dan Lass Diara juga tidak dilupakan, Benzema dan Higuain dimainkan bergantian, Jose Callejon, Arbeloa, Sergio Concentrao, juga tidak luput.

Ironisnya, ketika Mourinho sempat mengalami kemajuan pesat, Pep Guardiola malah mundur beberapa langkah. Tiki-taka yang dulu menjadi rujukan bagi semua tim di dunia untuk bermain indah dengan tingkat kekompakan yang tinggi, permainan sederhana passing-gerak-passing-gerak, dan tahan bola selama mungkin.

Kesemuanya justru dirusak oleh “kartu as” permainan mereka sendiri; Lionel Messi.
Harus diakui, Messi itu semacam “tuhan” di tubuh Barcelona. Filosofi tique-taqa sejatinya juga bicara mengenai beban mental yang harus dibagi oleh 11 pemain, tapi ketika Messi sendirian menjadi yang terbaik, sendirian yang mengubah keadaan, sendirian yang menjadi penentu, maka beban ini tumpah ke pundak Messi dengan sendirinya.

Ketika Barca kalah atau imbang, maka setiap orang akan berfikir: “Ada apa dengan Messi?”
Kepercayaan diri pemain Barca akhirnya tergantung oleh satu pemain ini. Bahkan Pep Guardiola yang harusnya mampu membaca hal ini dan mengantisipasinya, justru ikut larut dan mabuk oleh kehebatan pemainnya sendiri. “Kami punya Messi,” adalah kata-kata boomerang Guardiola sebelum bertemu dengan Chelsea.

Sialnya, Barca bertemu Chelsea yang sedang dalam kondisi compang-camping karena adanya pergantian manajemen dan kekalahan demi kekalahan di Liga, tapi kondisi “penuh derita” Chelsea menjadikan mereka sebagai satu kesatuan tim. Lihat bagaimana hubungan Di Matteo dengan para pemain senior; Drogba, Lampard, Terry, dan Petr Cech mereka begitu kompak, saling bekerja sama, dan yang paling penting:

Menuhankan TIM!

Source : Ahmadkhadafi

Tidak ada komentar: