Rabu, 30 Mei 2012

Sepakbola Adalah Kesunyian Masing-Masing

Dalam dunia yang hanya bercerita soal sepakbola, tiap umat punya “Tuhan”-nya masing-masing.

Orang Argentina “beriman” pada Maradona. Brazil “menyembah” Pele. Belanda “bertawakal” pada Cruyff. Jerman “memberhalakan” Beckenbauer. Dan masih banyak lagi “Tuhan” lainnya. Kita belum menyebut Meazza untuk Italia, Bobby Charlton bagi Inggris, Puskas di Hongaria, Roger Milla untuk Kamerun, atau Ji Sung bagi rakyat Korea Selatan.

Tapi, apa yang saya sebutkan diatas adalah segelintir “Tuhan-Tuhan” yang diampu sekaligus dirawat, dipupuk sekaligus dipanen, oleh media dan industri sepakbola hingga cerita tentang mereka memanjang dalam ingatan dan terentang dalam waktu yang tak terhitung lamanya.

Pertanyaannya: siapakah “Tuhan” bagi negeri yang sepakbolanya nyaris tidak dikenal orang banyak? Atau, jika sarkasme diperbolehkan: siapakah “Tuhan” yang jika kita mendengar tanah asalnya bisa bikin kita tergelitik? Kepulauan Fiji, misalnya.

Tentu sedikit sekali yang tahu. Saya cuma pernah mengenal nama Waisale Tikoisolomoni Serevi. Ia adalah pesepakbola legendaris dari Fiji. Memenangi tujuh gelar Liga, bermain sebanyak 39 kali di rentang waktu antara 1989 sampai dengan 2003 dan mencetak 376 gol sepanjang karir.

Prestasi fenomenalnya adalah membawa Fiji menjadi juara dunia dua kali. Ini serius. Tercatat dalam sejarah dan Wikipedia. Di masanya sebagai pemain, Serevi membawa Fiji sukses merengkuh dua buah piala dunia…

…rugby.

Sungguh sulit untuk melacak arsip sepakbola di negeri yang urusan sepakbolanya tak mentereng dan tak jadi bahan perbincangan sepakbola arus industri. Harus diakui, pada level ketaktahuan kita dalam hal ini, kita terlampau asik dengan “Tuhan-Tuhan Besar”. Kita cenderung melupakan bahwa sebelum “Tuhan Langit” hadir, ada “Tuhan Tanah” yang menjadi sesembahan manusia berabad-abad lamanya.

Dalam hal ini, “Tuhan-Tuhan Besar” dalam sepakbola adalah mereka yang dikenal karena kontroversi dan prestasinya disebarluaskan oleh media. Hal ini tak pelak banyak “Tuhan” yang merasa kesepian di tempat nun jauh disana. Jauh dari hiruk pikuk perayaan dan festival warga dunia. Jauh, sangat jauh dari hingar bingar pesta pora akbar yang melibatkan ratusan juta pasang mata.

Dan karena itu benar kiranya Bono yang mengatakan bahwa “agama adalah sebuah klub”. Banyak orang berduyun-duyun memasuki klub yang dianggap paling eksklusif dan ternama untuk mencitrakan diri sebagai orang yang paling “beriman”.

Dan jika sepakbola adalah agama, disana, “Tuhan” diperlakukan sebagai alat, sebagai objek yang senantiasa dipanggul dan diarak, dihujat dan diruntuhkan. Lalu orang mengenangnya dengan nostalgia yang kecut. Tak sedikit pula yang sibuk kasak-kusuk cari “Tuhan” baru yang lebih progresif.

Ah, sepakbola dan “tuhan”. Saya jadi ingin memelintir penggalan bait puisi Chairil Anwar:
“Sepakbola adalah kesunyian masing-masing”.

Source : Goodbyepele

Tidak ada komentar: